Sabtu, 12 November 2011

Menakar Signifikansi Tasawuf Dalam Kehidupan


Hadirnya manusia sejatinya telah membuktikan akan eksistensi Tuhan, Realitas Mutlak atau supreime being. Hal ini diperkuat oleh sebuah hadits yang menyatakan bahwa siapa yang mengenal atau mengetahui dirinya sendiri, dia sebenarnya telah mengenal dan mengetahui penciptanya, yakni Tuhannya. Oleh karena itu, pada dasarnya manusia memiliki potensi atau talenta dalam menangkap unsur ilahiah pada dirinya tersebut, dan semua itu tergantung bagaimana bentuk proses yang dilakukannya.
http://tanbihun.com/tasawwuf/tasawuf/konsep-zuhud-dalam-kajian-tasawuf/
Dalam mencari jati diri seutuhnya, baik yang bernuansa vertikal maupun horizontal, manusia lebih menitik beratkan pada olah akal (rasio) dan jiwa (intuisi). Ketika manusia hanya berkutat pada olah akal, maka yang akan tampak dihadapanya lebih bernuansa materi semata atau duniawi, dan terdapat keengganan untuk memahami apa yang bersemayang dibalik materi tersebut. Orientasi akal atau filsafat adalah memahami secara radikal terhadap sesuatu yang menjadi pengamatannya atau apa yang diamati, sehingga memberikan pengetahuan yang komprehensif dan sistematis. Kendati demikian, pengetahuan yang didapat dari hasil eksploitasi rasio, hanyalah kulit luarnya semata. Beda halnya dengan intuisi atau tasawuf yang lebih mengarah kepada substansi yang berada dibalik wujud yang tampak atau materi. Kendati keduanya berjalan dalam ranah yang berbeda, hal itu tidak menutup adanya sinergitas di antara kedua. Bukti konkrit akan hal itu yakni adanya kombinasi antara tasawuf dan filsafat yang dikenal dengan term tasawuf illuminative atau tasawuf falsafi, yakni aliran filsafat yang dalam pencapaian pengetahuannya tidak hanya mengandalkan kekuatan rasio (al-‘aql) rasionalitas spekulatif, melainkan juga mendasarkannya pada kekuatan intuisi (adz-dzauq) spiritualitas intuitif.[1]
Tasawuf merupakan core untuk mendekatkan diri kepada Allah. Artinya, orang hanya akan lebih nyaman dan sempurna menghayati cahaya ilahi dengan cara bertasawuf. Orang yang bertasawuf merupakan individu yang lebih menggunakan potensi pancaran cahaya ilahi sebagai sarana utama mendekatkan diri kepada sumber cahaya ilahi yang menjadi sumber cahaya dari segala cahaya. Adanya cahaya ilahi di muka bumi ini, hanya sebatas bias dari pancaran spektrum cahaya ilahi. Dan itu semua dapat dijangkau dan dirasakan kehadirannya melalui sense atau adz-dzauq. Potensi inilah yang nantinya akan mengelaborasi eksistensi Tuhan melalui penyingkapan (mukasyafah) dari tabir-tabir penghalang antara manusia dengan sang pencipta.
Ketika tasawuf menjadi inti dari pendekatan akan relasi vertikal yang bersifat kudus, antara manusia dengan Tuhan, maka perlu untuk diungkap dan dielaborasi secara intens terkait signifikansinya terhadap kehidupan manusia; dalam bersosial masyarakat (horizontal) maupun sosial religius (vertikal). Sebelum melangkah sejauh itu, perlu kiranya untuk mengetahui dan memahami apa sebenarnya definisi tasawuf? Dan bagaimana pola hidup seorang sufi?, sebelum membacara peran dan funsi akhlak tasawuf dalam kehidupan manusia.   

A.      Menguak definisi tasawuf
Hakikat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui penyucian diri dan amaliyah-amaliyah Islam. Dan memang ada beberapa ayat yang memerintahkan untuk menyucikan diri (tazkiyyah al-nafs) di antaranya: “Sungguh, bahagialah orang yang menyucikan jiwanya” (Q.S. Asy-syam 91:9); “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS. Al Fajr: 28-30). Atau ayat yang memerintahkan untuk berserah diri kepada Allah, “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tema menyerahkan diri (kepada) Allah” (QS. Al An’am: 162).
Melihat deskripsi di atas terkait hakikat dunia tasawuf, maka dapat dipetik bahwa  ada proses pencarian dan penyucian diri dalam menempuh jalan Sang Pencipta, Allah. Dunia tasawuf atau sufisme, begitu terkadang orang mengenalnya tentang mistik Islam, merupakan suatu cakupan yang cukup luas, dan buku-buku yang ada hanya mencakup sebagian kecil dari segala wujud yang besar dari dunia tasawuf. Kompleksitas menjadi problem utama yang tampak dalam mendefinisikan tasawuf. Selain itu, tasawuf juga lebih bersifat subjektif dan immateri atau metafisik. Problem tersebut mencoba diuraikan oleh Jalaluddin Rumi dengan menganalogikan orang buta yang memegang seekor gajah; bagi si buta ini gajah bentuknya seperti mahkota, ketika memegang telinga gajah. Namun, si buta satunya mengatakan bahwa gajah itu seperti saluran pipa air ketika memegang gading gajah.[2] Analogi tersebut menggambarkan bagaimana bayangan beberapa orang buta yang sedang memegang seekor gajah yang tidak pernah terbayangkan wujudnya  dalam keutuhan imajinasinya.
Ahli bahasa masih berbeda pendapat terhadap pengertian tasawuf. Ada yang menyebut tasawud dari kata shafa’; suci, bersih, ibarat kilatan kaca. Shuf; bulu binatang, sebab orang-orang yang memasuki dunia tasawuf dan mengamalkannya (pada masa awal Islam) itu berbaju dari bulu binatang yang kasar sebagai wujud pemberontakan terhadap dunia glamor, yang penuh keindahan dan barang-barang mahal. Shuffah; segolongan sahabat Rasulullah SAW yang memisahkan diri di satu tempat tersendiri di samping masjid nabawi atau lebih dikenal zuhud. Ada juga berasal dari kata shufanah; sejenis kayu mersik yang tumbuh di padang pasir tanah Arab. Selain hal itu, ada juga yang menyatakan tidak berasal dari suku kata bahasa Arab, melainkan bahasa Yunani yang diarabkan yaitu dari theosofie yang berarti ilmu ketuhanan.[3]
Berangkat dari beberapa definisi di atas yang ditelusuri secara etimologi, maka sekiranya akan lebih afdhal kalau ada pemaknaan secara terminologi. Al Hujwiri dalam hal ini mencoba untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan dunia tasawuf. Klasifikasi yang dinyatakan oleh Al Hujwiri mengenai pengikut-pengikut terhadap ajaran tasawuf terbagi dalam tiga element, yakni shufi, mutashawwif, dan mustashwif.[4] Pertama, shufi merupakan manusia yang telah menghilangkan eksistensi keakuannya dan hidup oleh illuminasi Tuhan, sehingga ia terbebas dari sekat-sekat manusia dan telah mencapai peleburan dengan Tuhan. Kedua, mutashawwif merupakan calon sufi yang berupaya keras untuk menggapai tingkatan sufi dengan cara menundukkan hawa nafsu (mujahadah), dan dalam pencariannya ia meluruskan sikap perilakunya sesuai dengan teladan mereka (para sufi). Beda halnya dengan yang ketiga, mustashwif atau sufi yang non sufistik adalah orang yang hanya membuat dirinya secara lahiriah mirif dengan para sufi. Namun, ia sama sekali tidak memiliki pengetahuan apa pun seperti dua katagori sebelumnya. Mustashwif ini oleh para sufi disebut serigala yang mulutnya tidak dapat dikendalikan, sebab menginginkan secuil bangkai. Maka dari itu shufi adalah seorang manunggal (shahib wushul), mutashawwif merupakan seorang yang memegang teguh pada doktrin-doktrin orang yang telah manunggal (shahib wushul), sedangkan mustashwif adalah orang yang berwajah luarnya semata seorang sufi, tapi tidak mencerminkan sikap kesufian, maka orang tersebut merupakan orang yang sia-sia dalam tingkah lakunya dan dikenal sebagai shahib fudhul.
B.       Corak hidup sufistik
“Aku merupakan khazanah yang tersembunyi dan aku ingin diketahui, maka Aku menciptakan dunia ini.” Demikian hadits Qudsi yang diungkapkan Rasulullah SAW perihal ungkapan Tuhan pada dunia beserta isinya ini.[5] Berdasarkan dari hadits di atas, sebenarnya telah menyiratkan bagaimana Tuhan menstimulus umatnya untuk memahami diri-Nya dengan melalui berbagai ciptaan-Nya yang lain. Manusia memiliki jiwa atau intuisi yang berpotensi untuk memahami cahaya ilahi yang tersembunyi tersebut, sehingga kenyataan yang pada hakikatnya menusia menjadi lokus manifestasi Tuhan agar dapat tersingkap (mukasyafa).[6]
Untuk menyingkap sekat-sekat yang menjadi penghalang akan peleburan antara Tuhan dan manusia, perlu beberapa tahap tertenu dan proses yang harus dilaluinya sebelum menempuh jalan ketersingkapan atau tasawuf. Salah satunya yakni taubat. Ia harus menyesal atas dosa-dosanya yang lalu dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi. Kedua, zuhud, ia mulai berkonsentrasi penuh untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur’an dan dzikir, sedikit tidur dan banyak beribadat serta yang dicari hanya kebahagiaan rohani dan kedekatan dengan Allah. Ketiga adalah wara’. Ia menjauhkan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Keempat adalah faqr. Ia menjalani hidup kefakiran, dalam artian tidak belebih-lebihan atau sederhana. Dan terakhir sekaligus yang Kelima adalah sabar, tawakal, ridha dalam menerima dan menghadapi cobaan dari Tuhan.
Itu semua hanya hanya latihan untuk memasuki dunia sufistik. Adapun untuk memasuki pintu tasawuf, atau sufi, ada beberapa tahapan yang lebih tinggi dari sekedar membersihkan atau mengosongkan diri (takhali), mengisinya kembali dengan nilai-nilai ilahiyah (tahalli) dan kemudian tajalli, atau merasakan manifestasi Ilahi dalam kehidupan dunia ini.
Deskripsi di atas juga dipertegas oleh pendapat Annemarie Schimmel yang menyatakan bahwa ada beberapa jalan terlebih dahulu dalam menuju kehadirat Tuhan. Jalan tersebut oleh A. Schimmel dibagi dalam tiga jalan, yakni shariat, tarekat dan hakikat. Shariat merupakan pangkal dalam menapaki dunia tasawuf. Jalan pertama ini manusia diperkenalkan untuk menghayati hukum-hukum agar dihayati dan sungguh-sungguh ditaati. Kedua, tarekat adalah jalan yang bermuara pada pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang yang menempuh jalan tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut maqam dan ahwal. Yang terakhir, yakni hakikat merupakan ketersingkapan akan tabir penghalang antara manusia dengan sang Pencipta, Tuhan. Gampangnya dalam memahami hakikat yakni pencapaian kebenaran ilahiah yang diperuntukkan atas dasar proses tahaban shariat (jalan hukum) dan tarekat (jalan sempit dari seorang mursyid atau guru tasawuf).[7]
Sebenarnya kalau diamati secara seksama, penjabaran di atas tidak jauh beda dengan hadits yang menjelaskan tentang trilogi Islam. Intinya dari hadits ini adalah menjelaskan tiga aspek kehidupan yang shaleh, yang dibentuk dalam tiga tahap, di antaranya iman, islam, dan ihsan.[8] Iman dalah keyakinan secara bathiniah; Islam merupakan aspek lahiriah, legal, praktis; dan ihsan yakni perbuatan atau tingkah laku yang baik. Artinya bertindak dengan disertai pengetahuan dan keyakinan bahwa Tuhan selalu mengamati dan melihat, meskipun manusia sendiri pada dasarnya tidak menyaksikan Tuhan, maka seolah-olah Tuhanlah yang menyaksikannya. Hal ini juga dipertegas oleh firman Allah yang menyatakan bahwa “kemana pun kau berpaling, di situlah wajah Allah” (QS. Al Baqarah: 115).
Doktrin para sufi tidak lepas dari sumber asasi Islam, al Quran dan as Sunnah, ketika mengaca pada hadits di atas. Trilogi Islam medeskripsikan beberapa struktur dalam Islam yang sangat fundamental. Salah satunya yang mengisyaratkan akan nilai-nilai tasawuf yang terkandung di dalamnya, yakni ihsan. Fungsi dan peranan ihsan dalam trilogi Islam dapat dianalogikan sebagai sebuah bangunan, di mana iman (keyakinan) menjadi pondasi bangunan; islam (aspek lahiriah atau kepasrahan) layaknya bahan-bahanya materilnya, seperti kayu, genting, dan lainnya. Sedangkan posisi ihsan (wujud batin, kebajikan) yakni sebagai penghias dari bangunan tersebut sehingga tampak indah dan menawan.

C.      Fungsi akhlak tasawuf dalam kehidupan
Fungsi tasawuf dalam hidup adalah menjadikan manusia berkeperibadian yang shalih dan berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam sebuah tharekat atau aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup sederhana, jujur, istiqamah dan tawadhu.
Semua itu bila dilihat pada diri Rasulullah SAW, yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-harinya. Apalagi di masa remaja Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai manusia yang digelari al-Amin, shiddiq, fathanah, tabligh, sabar, tawakal, zuhud, dan termasuk berbuat baik terhadap musuh dan lawan yang tak berbahaya atau yang bisa diajak kembali pada jalan yang benar. Perilaklu hidup Rasulullah SAW yang ada dalam sejarah kehidupannya merupakan bentuk praktis dari cara hidup seorang sufi. Jadi, tujuan terpenting dari tasawuf adalah lahirnya akhlak yang baik dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.
Dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Maka lewat spiritualitas Islam ladang kering jadi tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih baik dan jelas arah tujuannya.[9] Manfaat tasawuf bukan hanya untuk mengembalikan nilai kerohanian atau lebih dekat pada Allah, tapi juga bermanfaat dalam berbagai bidang kehidupan manusia modern. Apalagi dewasa ini tampak perkembangan yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan inter-disipliner.

D.      Kesimpulan
Penjabaran dari beberapa subbab di atas, telah memberi pengetahun yang cukup mumpuni terkait dengan peran dan funsi akhlak tasawuf dalam kehidupan. Oleh karena itu, ada beberapa poin utama yang perlu untuk disebutkan pada subbab terakhir ini, antara lain sebagai berikut:
Pertama, manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang bertuhan. Manusia yang menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki Tuhan atau Pencipta, maka secara implisit telah mengaburkan akan eksistensi dirinya dalam dunia nyata. Hal ini dipertegas oleh sebuah hadits yang berbunyi, “barangsiapa yang mengenali dirinya sendiri, sesungguh ia telah mengenali dan mengetahui Tuhannya.”
Kedua, dunia tasawuf merupakan dunia yang penuh dengan kompleksitas. Baik dalam persoalan pendefinisiannya maupun cara memahaminya. Teradapat berbagai pemahaman dan penafsiran terkait dengan definisi tasawuf. Akan tetapi, dalam struktur tasawuf terdapat hierarki yang dibangun atas dasar kapabilitas manusia dalam menempuh jalan ketersingkapan dengan Tuhan. Wujud hierarkis tersebut yakni adanya shariat, tarekat, hakikat, atau shufi, mutashawwif dan mushtaswif. Bentuk hieraki tersebut menyesuaikan dengan ilmu dan pengetahun yang dimiliki oleh orang yang berproses kesufian atau tipe sufi.
Ketiga, terkait dengan corak sufistik yakni pola-pola yang dilakukan oleh orang yang sedang akan menempuh jalan sufi itu pada hakikatnya tidak terlepas dari sumber asasi Islam, yakni al Quran dan as Sunnah. Kedua element kunci tersebut selalu menghiasi hari-hari seorang sufi baik dalam hal tindakan maupun sikap. Jika melenceng dari koridor tersebut, maka hal itu bisa terjebak pada pseudo sufistifk atau mustashwif.
Point terakhir sekaligus yang paling inti dari pembahasan ini adalah pengaruh dan peran akhlak tasawuf dalam kehidupan. Hal ini ternyata tasawuf dapat memberikan kesejukan batin bagi masyarakat modern khususnya yang terlena dengan dunia glamor dan serba materi. Sehingga dunia bathiniahnya kering tanpa kesejukan dan ketentraman. Maka dari itu, tasawuf datang untuk menyirami dan menyejukkan dengan doktrin yang penuh kesalehan dan keimanan yang kuat kepada Tuhan.


[1] M. Hadi Masruri, Ibnu Thufail; Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, (Yogyakarta: LkiS, 2005), hlm. 68.
[2] Annimarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 01.
[3] Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005), hlm. 12.
[4] Al Hujwiri, Kasyful Mahjub; Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi W. M, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 44.
[5] Zulkarnain, Sufisme Dalam Islam Kontemporer; Analisis Terhadap Eksistensi Wujud Yang Tak Terbaca Dalam Pengalaman Sufistik, makalah yang dipresentasikan pada Forum Kajian Sabtu Pagi (FKSP) dan PMII, tanggal 04 Nopember 2009.
[6] William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi; Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama, terj. Achmad Syahid, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), hlm. 51.
[7] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, hlm. 101.
[8] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al Lu’ Lu’ Wal Marjan, terj. H. Salim Bahreisy, (Surabaya: PT. Bina Utama, 1990), hlm. 4.
[9] Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban; Membangun Makna Dan Relevansi Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995), hlm. 94.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;