Jumat, 27 Mei 2011

Landansan Filosofis dan Praksis Hubungan Antar Agama


Oleh: Zulkarnaen Madani

Agama merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Manusia memiliki unsur ke-Tuhan-an yang menjadi garis relasional antara ciptaan dan Sang pencipta (creat and creator). Sehingga antara Tuhan dan manusia terdapat suatu ikatan yang bisa dikatakan tidak dapat dilepaskan, walaupun ada sebagian orang yang menyatakan dirinya tidak memiliki Tuhan atau berTuhan (atheist). Namun, pada hakikatnya mereka tetap memiliki unsur keTuhanan yang bersemayang dalam tubuh manusia, yang lebih dikenal dengan jiwa atau nafs.
Tuhan memang menjadi hal inti dalam segala sistem di alam semesta ini. Semua hal yang ada di alam semesta tidak lepas dari kendali dan pengawasan Tuhan. Maka dari itu, tidak menutup kemungkinan jikalau nantinya terdapat interpretasi terhadap Tuhan, baik itu terkait sifat-sifat-Nya, ciptaan-Nya maupun wujud-Nya. Yang akan melahirkan suatu diversitas pandangan atau pemahaman terhadap eksistensi Tuhan.
Ada beberapa teori yang melatar belakangi terciptanya keberagaman dibalik kesatuan risalah agama-agama. Salah satu teorinya yakni teori evolusi dan revelasi. Teori revolusi ini lebih dipengaruhi oleh teori revolusi Charles Robert Darwin yang menyatakan bahwa organisme yang hidup sekarang merupakan kelanjutan dari organisme sebelumnya. Keberlangsungan hidup suatu orgnanisme itu tidak serta merta berjalan mulus, namun ada tantangan dan perjuangan untuk tetap hidup (survival for live). Ketika manusia sudah masuk dalam permainan seleksi alam, niscaya mereka harus berlomba-lomba untuk beradaptasi dan kuat yang dapat bertahan hidup hingga sekarang (survival for the fittest).[1]
Dalam studi agama, teori di atas dijadikan instrument dalam melihat fenomena keagamaan, sehingga lahirlah teori-teori asal usul agama, seperti animisme, dinamisme, henoteisme, animatisme, serta high God. Sedangkan teori kedua yang juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberlangsungan agama-agama yakni teori revelation atau wahyu. Pada dasarnya teori ini menyatakan bahwa setiap agama membawa pesan yang sama. Agama dalam teori ini merupakan aturan yang diwahyukan oleh Tuhan kepada manusia melalui nabi.
Teori tersebut di atas kemudia dikenal dengan teori ur-religion.  Teori ini berbicara bahwa pada hakikatnya setiap agama sudah memiliki pesan yang sama dari Tuhan. Hanya saja pesan tersebut mengarungi nuansa sosial masyarakat dari masa ke masa, sehingga menciptakan berbagai interpretasi yang akhirnya melahirkan agama-agama. Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa dari berbagai cara pandang yang dilakukan oleh agama-agama, pada intinya masih memiliki garis penyatu, yakni pesan Tuhan yang sama.[2]
Lahirnya diversitas agama-agama memang merupakan suatu anugerah tersendiri bagi umat manusia. Dengan adanya perbedaan itulah manusia nantinya akan belajar berinteraksi sosial tanpa mencederai salah satu pihak, golongan, maupun agama.
Pentingnya hubungan agama berbasis filosofis dan praksis yang berkutat pada ranah filsafat perennial, transcendent unity, dunia modern dengan beragam perkembangannya, akan membuat sebuah tantangan baru terhadap agama. Hal ini nantinya juga akan memberikan deskripsi terkait dengan corak yang akan ditampkan oleh agama-agama dalam mengkonstruk relasi sosial religius.
Agama yang satu dan lainnya pada hakikatnya telah memiliki relasi yang  bernuansa doktriner. Seperti halnya dengan konsep interpenetrasi yang menyatakan bahwa kehidupan agama-agama sebenarnya telah atau juga terdapat pada agama lainnya. Hal ini akan terlihat nampak jelas ketika tidak ada suatu kesempurnaan terhadap suatu agama. Karena pembahasan yang terdapat pada satu agama, seperti nabi Muhammad dalam Islam, itu juga telah dibahas jauh-jauh hari dalam kitab-kitab suci agama Yahudi dan Nasrani.
Fenomena demikian sebenarnya telah menguatkan bagaimana hubungan yang seharusnya terjalin dan dibina oleh umat beragama, agar dapat hidup harmonis, tentram, dan damai. Karena perbedaan itu bukanlah dosa, melainkan anugerah bagi makhluk seluruh alam semesta.

A.      Relasi Agama Berbasis Transcendent Unity
Agama merupakan sesuatu yang bersifat abstrak dan individualis. Agama lahir dalam jiwa seseorang sehingga timbul keyakinan yang mendalam terhadap Tuhan. Tidak ada topik yang lebih menarik untuk dibahas selain agama, karena jika berbicara masalah ini seseroang akan menanggapinya secara antusias dan emosional. Namun terkadang mereka cenderung memandang agama secara subjektif, padahl seharusnya kajian tentang hal yang sangat mendasar dan manusiawi ini dipandang secara objektif. Karena setiap orang tentu akan menganggap agama yang diyakininya adalah agama yang paling benar, tanpa meliaht sisi kebenaran atau bahkan kesempurnaan agama lain. Barangkali dalam hal ini cenderung leibh eksklusifisme.
Setiap agama pasti memiliki persamaan dan perbedaan dengan hal-hal lainnya. Demikian juga dengan halnya agama-agama ada banyak perbedaan bahkan persamaan. Namun perbedaanlah yang cukup mencolok dalam hal ini, karena dengan perbedaan inilah yang akan melahirkan dan memunculkan perbedaan keyakinan dari agama yang dianut.
Bagi Frithjof Schuon, dalam bukunya "Mencari Titik Temu Agama agama, penerjemah Saafroedin Bahar." Menyatakan bahwa hidup ini ada tingkatan-tingkatannya. Dari segi metafisik, hanya pada Tuhanlah, yang berada ditingkat tertinggi, terdapat titik temu berbagai agama. Sedangkan pada tingkatan bawahnya, agama-agama tadi saling berbeda. Dari segi epistimologis dapat pula dikatakn bahwa perbedaan antara agmaa yang asatu dengan agmaa yang lain juga mengecil dan menyatu ditingkat tertinggi, sedangkan ditingkat bawahnya berbagai agama terpecah-belah.[3]
Dalam versi Schuon, perbedaan antara hakikat dan perwujudan dilakukan dalam dua cara, yaitu esoteris dan eksoteris. Schuon menarik garih pemisah antara yang esoteris dan eksoteris. Harus dipahami garis pemisah tersebut bersifat horizontal dan hanya ditarik satu kali membelah berbagai agama yang ditemui sepanjang sejarah. Dan di atas garis tersebut terletak paham eksoteris. Karena pada dasarnya semua agama pada hakikatnya adalah sama (esoteris) dan hanya berbeda dalam bentuknya saja (eksoteris).[4]
Perwujudan pribadi yang maha tinggi terlihat dalam semua agama wahyu dengan tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Wilayah ini juga merupakan tempat menyatunya berbagai agama. Pada wilayah esoteris ini lebih bersifat rahasia namun bukan karena orang yang menggetahuinya tidak bisa menjelaskan, melainkan karena kebenaran yang merupakan rahasia tersebut terbenam didalamnya unsur manusiawi. Dalah hak kesatuan dan perbedaan agama merupakan masalah bentuk-bentuk rohani yakni, yang esoteris dan eksoteris.
Tuhan adalah suatu kesatuan yang absolut, tidak dapat dilukiskan atau bahkan dijelaskan secara tepat. Akan tetapi dalam kesatuan yang absolut merupakan hal yang serba mungkin dalam artian setiap kemungkinan haruslah terwujud di dalamnya.
Dalam perspektif lain untuk dapat memahami yang ilahi (transenden), ada element yang harus diprioritaskan, yakni etika. Karena etika merupakan pergumulan untuk "hidup yang benar dan baik" sehingga dapat memahami dan merasakan apa yang dilaksanakan dalam ibadah dan apa yang harus diakui. Jadi, orto-praksis (bertindak yang benar) memiliki prioritas praktis atas ortodoksi (pengakuan iman yang benar).[5]
Terlepas dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa inti dalam agama-agama hanyalah satu kesatuan. Dan kesatuan tersebut bukan saja moral, teologis, melainkan juga metafisik dalam arti sebenarnya untuk dapat mengatasi sesuatu yang kelihatan tersebut. Akan tetapi, berhubung sifatnya yang adikodrati, supreme being, realitas mutlak, tidak seorang pun dapat menjelaskan dengan hal yang sama. Karena pada umumnya semua agama itu bersifat abstrak. Sedangkan hal konkrit, yang justru tidak bersifat umum, ditemukan pada semua agama, padahal hanya yang konkret-empiris yang terkadang lebih dicintai dan dapat dipuja banyak orang.[6]

B.       Agama-agama Dalam Perspektif Perennialisme
Seiring berkembangnya kemajuan tekhnologi manusia pada zaman sekarang atau bisa disebut manusia modern, yang melihat segala sesuatu hanya dari sudut pandang pinggiran esksitensinya itu tidak pada "pusat spiritualitas dirinya" sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya. Manusia memiliki penggetahuan material atau perkembangan kehidupan dunia secara mengagumkan. Tapi secara kualitatif dan keseluruhan tujuan hidupnya mengakut pengertian dirinya ternyata dangkal. Maka dari itu, dunia ini menurut manusia modern adalah dunia yang memang tidak memiliki dimensi transcendental. Pandangan demikian menjadi wajar jika peradaban modern yang dibangun selama ini tidak menyertakan hal yang paling esensial dalam kehidupan manusia, yaitu dimensi spiritual.
Kita semua mengetahui bahwasanya  kita hidup ini tidak lepas dari alam dan sang Pencipta (creator). Dari perkataan human being, kata human yang mengacu pada badan manusia dan being yang mengacu pada jiwanya. Namun untuk manusia modern sekarang ini diperlukan penjelasan yang lebih perihal kedua entitas tersebut, khususnya tentang hakikatna yang bersifat rohani. Badan manusia yang bersifat fisikal tapi sebagai jiwa manusia yang bersifat non-fisikal yang tidak tergantung sama sekali kepada manifestasi badannya yang terus berubah-ubah. Menurut pandangan tradisional hakikat manusia adalah sesuatu ang bersifat non-fisik. Dari munculnya banyak persoalan jiwa itulah maka lahir filsafat perennial.
Dari segi historis, filsafat perennial pertama kali digunakan di dunia Barat oleh Augustinus Steuhus (1497-1548) dang judul karyanya De Perenni Philosophia yang diterbitkan pada tahun 1540. Kemudia dipopulerkan oleh Leibnitz pada tahun 1715, yang menegaskan bahwa dalam membicarakan tentang pencarian jejak-jejak kebenaran dikalangan para filosof kuno dan tentang pemisahan yang terang dari yang gelap, sebenarnya itulah yang dimaksud dengan filsafat perennial.
Namun dari segi makna jauh sebelum Steichus dan Leibnitz, agama Hindu telah membicarakannya dengan mengistilahkan sebagai Sanata Dharma. Dan dikalangan kaum muslim, merek telah mengenalnya lewat Ibnu Maskawih (932-1030) dengan judul karyanya "Al Hikmah Al Khalidah" dalam bahasa Persia disebut "Jauhidan Khirad". Dalam buku itu Maskawih banyak membicarakan pemikiran-pemikiran dan tulisan-tulisan orang-orang suci dan para filosof. Termasuk didalamnya mereka yang berasal dari Persia kuno, India dan Romawi.
Dengan demikian inti pandangan perennial adalah bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi esoteric ada sebuah pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama, yang muncul melalui beragam nama, attribute, dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan symbol.
Adapun wacana yang dipelajari dalam filsafat perennial ini adalah pertama tentang Tuhan, wujud yang absolut, sumber dari segala sumber. Tuhan yang maha benar adalah satu. Sehingga semua agama yang muncul dari yang satu pada prinsipnya sama. Karena datang dari sumber yang sama pula. Kedua, filsafat perennial ingin membahas fenomena pluralisme agama secara kritis dan kontemplatif. Ketiga, filsafat perennial berusaha menelusuri akar-akar kesadaran religiusitas seseorang atau kelompok melalui simbol-simbol, ritus serta pengalaman keberagamaan.
Dalam kaitannya dengan filsafat perennial, Islam memandang bahwa doktrin tentang tauhid tidak sekedar hanya menjadi pesan bagai Islam saja, melainkan juga sebagai hati dan inti dari setiap agama. Pewahyuan bagi Islam adalah penegasan ualng mengenai doktrin tauhid yang sudah ditegaskan sebelumnya oleh agama-agama yang hadir mendahului kerasulan Muhammad. Karena pewahyuan itu turun pada masyarakat yang berbeda-beda, maka bahasa yang digunakan untuk mengekspresikannya pun juga berbeda. Meskipun isi dan substansinya tetap sama. Dalam pandangan perennial, substansi adalah primer sedangkan bahasa hanyalah sekunder.[7]
Selain hal itu, perlu diketahui bahwa dalam pembicaraan filsafat perennial ini tidak dipahami sebagai paham atau filsafat yang berpandangan bahwa semua agama adalah sama, akan tetapi filsafat perennial yang berpandangan bahwa kebenaran mutlak hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari yang satu ini memancar kebenaran, seperti matahari yang secara niscara yang memancarkan cahayanya.[8]

C.      Wujud Agama Dalam Realitas Modern
Prediksi para ilmuwan Barat yang menyatakan bahwa agama formal (organized religion) akan lenyap, atau setidaknya akan menjadi urusan pribadi, ketika iptek dan filsafat semakin berkembang, ternyata tidak terbukti. Sebaliknya, dewasa ini sedang terjadi proses artikulasi peran agama (formal) dalam berbagai jalur sosial, politik, budaya, ekonomi, bahkan dalam teknologi. Tapi sungguh membingungkan, ekspresi dan artikulasi peran agama tersebut justru melahirkan suasana mencekam, tidak ramah dan selalu mengundang konflik dan permusuhan.
Memang harus diakui bahwa manusia telah melalui suatu perjalanan panjang dalam pencarian hakekat dan makna hidupnya. Pengalaman demi pengalaman telah dilalui yang pada akhirnya manusia telah sampai kepada puncak kemajuan melalui pengemangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dimana IPTEK mendominasi segala aspek kehidupan.
Kemoderenan selalu identik  dengan kehidupan keserbaadaan, sedangkan modernisasi itu sendiri merupakan salah satu cirri umum peradaban maju – yang dalam sosiologi berkonotasi perubahan sosial masyarakat yang kurang maju atau primitive untuk mencapai tahap yang telah dialami oleh masyarakat maju atau berperadaban.
Lahirnya era modernisme yang mengglobala, sedikit banyak telah mempengaruhi laju keberagamaan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari dampak yang dilahirkan oleh arus globalisasi yang ditelorkan oleh zaman modern saat ini adalah lahirnya gerakan-gerakan yang lebih bersifat eksklusif dan mencekam. Semuat itu terjadi karena ada beberapa pemeluk agama yang ingin mempertahankan nilai-nilai religius di tengah arus globalisasi.
Ketika agama sudah menjadi wujud yang menakutkan dengan gerakan-gerakan seperti halnya fudamentalisme, secara implisit akan merenggangkan hubungan antar agama yang bisa dibilang awalnya harmonis menjadi disharmonis dengan berbagai alasan. Kekuatan resistensi ini memang terbilang tangguh dalam mencegah hegemoni sistem dunia global dengan jiwa penegasan jati diri keagamaan (religious self assertion).[9] Akan tetapi, di sisi lain hal itu akan berdampak terhadap keberlangsungan hubungan antar agama yang dilandasi sikap "paling benar" atau truth claim.
Sikap yang seharusnya dibangun oleh masyarakat beragama dalam mengimbangi kemajuan tekhnologi yang telah meleburkan sekat-sekat geografis yakni dengan merubah (revise) atau merombak (deconstruc) ide-ide agama tradisional agar seirama dengan roh zaman, zeitgeist, serta diimbangi dengan nilai-nilai yang diyakini universal.
Fenomena keagamaan di era modern memang sering mengundang persoalan yang kompleks. Kendati demikian, ada salah satu tokoh agama-agama, Wilfred Cantwell Smith, yang menyatakan bahwa manusia di abad 21 ini harus bisa merubah masyarakat dunia yang baru saja tumbuh dan muncul dalam wujud (our nascent world society) menuju masyarakat atau komunitas dunia (a world community).[10]
Persoalan yang muncul di tengah perkembangan dunia tekhnologi terhadap hubungan antar agama terletak pada aspek religiusitas manusia.
Manusia religius yang berbasi cinta kasih, akan senantias hidup harmonis dengan segala keragaman agama-agama. Konsep tersebut juga terpatri dalam Alkitab yang menyebutkan bahwa "barang siapa tidak mengasihi, pada hakikatnya ia tidak mengenal Tuhan" (1 Yohanes 4:8).
Maka lawan sebenarnya dari perkembangan era modern adalah manusia religius bersifat egois, penakut, dan tidak memiliki cinta kasih. Maka dari itu, menurut Smith, tugas paling besar manusia modern adalah menciptakan persahabatan universal (universal friendship). Pernyataan tersebut ia tekankan bahwa di bumi maupun di langit, tidak ada sesuatu yang bernama "agama". Karena agama itu merupakan keyakinan yang terorganisir yang terus berkembang dari masa ke masa yang kemudian disebut agama.[11]


[1] Teori evolusi Darwin amat berpengaruh terhadap sistem sosial masyarakat, baik agama maupun budaya. Dengan teori seleksi alamiah dan spesies, banyak menuai dampak bagi keberlangsungan pola hidup manusia kedepan. Lihat, David Burnie, Bengkel Ilmu Evolusi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), hlm. 07.
[2] Ustadi Hamzah, Teori Asal Usul Agama (Hand Out atau Power Point Materi Sejarah Agama-agama), yang disampaikan pada matakuliah Sejarah Agama-agama pada Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.  
[3] Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 12.
[4] Pemetaan yang dilakukan oleh Schuon ini terbilang menarik untuk dijadikan suatu pola atau metode dalam melihat sisi universal dari agama-agama. Ketika Schoun membahasakan kesatuan agama terletak pada aspek esoteric-transcendent unity dan perbedaan particular-eksoteric, telah memberi ruang bagi umat beragama dalam membangun relasi yang ingklusif-dialogis. Lihat, Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, hlm. 11.
[5]  Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, (Jakarta: Bpk Gunung Mulya, 2003), hlm. 151.
[6]  Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, hlm. 26.
[7]  Mohammad Wahyuni Nafis dan Komaruddin Hidayat, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm 5.
[8]  [8]  Mohammad Wahyuni Nafis dan Komaruddin Hidayat, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, hlm. 07.
[9] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjaun Kritis, (Jakarta: Perspektif Kelompok Gema Insani, 2006), hlm. 69-70.
[10]  Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjaun Kritis, hlm. 71.
[11] John D. Caputo, Agama Cinta Agama Masa Depan, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 4. Liat juga, Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjaun Kritis, hlm. 72-73.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;