Kamis, 28 April 2011 0 komentar

Jadikan Dialog Sebagai Sumbu Perdamaian

Oleh: Zulkarnaen Madani
Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna di antara ciptaan-Nya yang lain. Manusia diberi akal oleh Tuhan agar mereka bisa berpikir, sehingga dapat membedakan mana yang tergolong baik dan buruk. Ketika manusia sudah tidak lagi menggunakan akal sehatnya, maka manusia tidak jauh beda dengan binatang.
Segala tindak tanduk manusia di muka bumi ini memiliki aturan-aturan dan norma-norma yang harus dipatuhi. Baik itu terkait dengan relasi antara manusia dengan sang pencipta, manusia dengan manusia, maupun manusia dengan alam. Hubungan vertikal antara manusia dengan sang pencipta terbilang memiliki keragaman cara antara manusia yang satu dan lainnya. Hal ini nantinya memiliki singgungan dengan pola horizontal relasi yang dibangun oleh manusia dengan sesama manusia.  
Peristiwa yang terjadi beberapa akhir ini terkait dengan persoalan-persoalan berbasis agama, seperti halnya peledakan bom di Masjid Al-Zikra, Mapolres Kota Cirebon; penemuan bom di dalam gorong-gorong pipa gas di sekitar gereja di Serpong, Tangerang Selatan; bentrok antarwarga dengan petugas keamanan di Sumatra Selatan; hingga bentrokan warga dengan oknum TNI di Kebumen, Jawa Tengah, (Republika, 25/4) telah memberi gambaran bagaimana keresahan yang dirasakan oleh warga masyarakat akan benih-benih retaknya nuansa keharmonisan di negara Indonesia ini.
Sebenarnya, konstitusi Negara telah nyata-nyata menjamin kebebasan dan keamanan warga negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut keyakinan mereka masing-masing. Begitupun konsep pancasila dengan kebhinekaannya telah menggambarkan bagaimana pola interaksi sosial yang harus dibangun oleh masyarakat Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh nilai-nilai kebebasan beragama yang terkandung dalam al Quran.
Dalam surat al Baqarah ayat 256 dengan tegas menyebut “Tidak ada paksaan dalam hal agama. Jelas bedanya jalan yang benar daripada yang sesat. Barangsiapa yang ingkar kepada setan dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kuat dengan genggaman yang tak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi mahatahu.”

Memutus Lingkar Kekerasan
Kekerasan jangan dilawan dengan sikap keras lagi berhati kasar, tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Mereka yang melakukan aksi kekerasan dengan membabi buta, tanpa memandang bulu, pada dasarnya tidak tahu menahu apa yang dilakukannya. Hanya saja mereka sedang terjebak pada jurang ego yang dilumuri oleh nuasa pragmatisme, fanatisme, dan ekskulivisme.
Gejala kekerasan “agama” pada hakikatnya tidak serta merta murni ditimbulkan oleh agama, namun bisa saja dimotori oleh gejala sosial-politik. Walaupun tidak semuanya bebasis pada faktor sosial-politik tetapi juga pada interpretasi mereka terhadap agama yang bisa dibilang dangkal atau tekstual-literalis. Posisi pemerintah dalam menyikapi hal ini harus berdiri di atas semua golongan. Independensi pemerintah sebagai pemersatu kedaulatan bangsa, jangan sampai tercoreng oleh kepentingan oknum-oknum yang tak bertanggung jawab.
Ketika politik sudah berbalik menyetir agama, maka yang terjadi adalah penyalahgunaan fungsi agama. Peran yang terbalik itu dipicu oleh kedangkalan mereka dalam memahami dan menghayati agama yang diyakini dan dipercayai. Sehingga mereka mudah dihasut dan dijadikan alat untuk membuat keresahan pada warga masyarakat, agar melahirkan sekat-sekat dan kecemburuan sosial antar warga.
Solusi yang solutif dalam mengatasi kedangkalan agama menurut almarhum Abdurahman Wahid (Gus Dur) dalam Passing Over; Melintasi Batas Agama (1998) yakni ada dua: pertama, harus menanamkan keyakinan yang kuat terhadap warga masyarakat agar tidak mudah dihasut. Kedua, mendalami serta menghayati pengetahuan agama kita kembali, dan menyadarkan warga bahwa hubungan antar agama itu dibangun atas dasar saling memahami dan pengertian.

Urgensi Dialog Agama
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa negara Indonesia merupakan negara yang ber-Ketuhanan tetapi bukan negara agama. Kehidupan beragama di Indonesia amat plural. Pluralitas tersebut merupakan anugerah yang patut dipertahankan dan dijaga keharmonisaanya oleh kita bersama.
Salah satu mantan menteri agama republik Indonesia dan sekaligus Bapak Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, A. Mukti Ali, dengan perjuangannya dalam menegakkan pluralitas di Indonesia telah melahirkan sebuah konsep untuk membangun keharmonisan hubangan antar agama. Agree in disagreement atau setuju dalam ketidaksetujuan, merupakan konsep yang beliau usung untuk melanggengkan pluralitas di Indonesia dengan berasaskan kesadaran akan pentingnya kehidupan beragama yang harmonis, serta dilandasi oleh teks-teks fundamental agama.
Konsep agree in disagreement bisa menjadi patokan bagi pemerintah dalam menyikapi pluralitas di Indonesia. Penekanan yang terkandung dalam konsep tersebut yakni bagaimana menjaga kerukunan umat beragama dengan cara berdialog secara produktif-konstruktif.
Hadirnya dialog sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman dan saling pengertian antar umat beragama, serta menangkis paradigma eksklusif-konservatif dalam membangun hubungan keagamaan yang sehat. Spirit yang terkandung dalam dialog agama adalah mencari nilai-nilai universal untuk dijadikan patokan bersama dan solusi bersama agar tidak melahirkan ketimpangan, kekerasan, dan kecemburuan sosial bagi salah satu pihak.
Pemerintah amat berperan penting dalam merealisasikan dialog agama tersebut sebagai penengah dan fasilitator demi terciptanya kerukunan dan ketentraman di masyarakat. Jangan biarkan bangsa yang plural ini dicap sebagai “negeri ide”. Walaupun konsep dialog agama itu baik dalam menyikapi persoalan ini, bukan berarti negara boleh membiarkan para pelaku kekerasan berkeliaran bebas tanpa ada hukum yang mengganjarnya. Hukum tetap harus dijalankan, sebagai bentuk penerapan terhadap konstitusi negara yang menjamin hak kebebasan beragama serta menjaga kewibaan dan stabilitas bangsa.
 
;