Sabtu, 22 Januari 2011

Kepemimpinan Kharismatik (Analisis terhadap Konsep Kharismatik Weber)


Pendahuluan
Diawali oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda.
I'm so sorry,,, I was forgeted...
Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata mata hanyalah meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Perbedaan mendasar antara budaya timur dan barat hanya terletak pada rasionalitas. Peran agama yang begitu penting terhadap pola hidup manusia, menjadikan agama suatu tinjaun analisis bagaiamana hal tersebut dapat melahirkan spirit juang manusia untuk memecahkan suatu persoalan. Persoalan yang terjadi di masyarakat cukup beragam. Mengingat didalam masyarakat juga terjadi konflik laten, baik itu system social masyarakat maupun pertarungan kelas-kelas. Semua itu tidak akan pernah luput dari suatu fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat, sehingga memunculkan suatu sintesis baru untuk menjadi titik temu antar pokok permasalahan tersebut sehingga dapat berjalan harmonis. Upaya untuk mencari titik temu atau adanya titik temu tersebut oleh Weber disebut sebagai afinitas elektif.
Agama sebagai suatu penggerak masyarakat dalam bertindak, menjadikan suatu sistem lain yang ada dalam masyarakat ikut merasakan kehadiran agama. hal itu terjadi seperti salah satu contoh kasus dalam etika Protestan. Namun, tidak hanya terdapat pada kasus tersebut, ada hal lain yang patut dan penting untuk dianalisis terkait dengan wujud institusi agama terhadap masyarakat. Wujud tersebut cukup jelas ketika melirik pada konsep kharismatik yang dijadikan instrument oleh Weber dalam menganalisis peran seorang pemimpin dalam menciptakan suatu perubahan yang radikal dan dinamis.
Konsep kharismatik Weber tersebut tidak lepas dari pembacaan terhadap fenomena-fenomena masyarakat akan gandrung akan seorang pemimpin yang dapat menciptakan suatu perubahan disaat terjadi suatu kondisi krisis. Persoalan yang dihawatirkan terhadapa konsep tersebut, yakni apakah konsep kepemimpinan kharismatik yang melekat sifat kharismatik dapat diturunkan atau diwariskan? Serta sejauh mana peranan kepemimpinan kharismatik dalam melakukan perubahan dalam masyarakat? Dan pada saat apa seorang pemimpin kharismatik itu hadir? Apakah dapat dibentuk secara mekanik atau murni (pure)? Persoalan-persoalan tersebut di atas yang nantinya akan menjadi perbincangan kedepan dalam pembuatan makalah ini.
Oleh karena itu, secara implisit Weber melihat suatu perubahan interaksi sosial masyarakat terdapat factor ekternal didalam-nya yang mendorong tindakan masyarakat untuk melakukan suatu perubahan dengan bertumpu pada intruksi dari orang yang dipercayai dan dihormati akan menimbulkan serta melahirkan perubahan yang inovatif-dinamis serta radikal.

Kharismatik
            Ada kecenderungan khusus yang perlu diteliti lebih mendalam kaitannya dengan persoalan-persoalan sosial di masyarakat, baik itu menyangkut dunia politik, ekonomi, maupun agama. salah satu hal penting yang patut untuk diulas leibh mendalam lagi yakni  persoalan kepemimpinan kharismatik (charismatic leadership) yang merupakan cenderung terhadap konsep politik. Hal ini penting mengingat peran dunia politik merupakan suatu aturan permainan yang bermain dalam ranah kekuasan dan hal itu cukup menjadi hal yang kompetitif dalam masyarakat ketika sudah menyangkut persoalan kekuasaan. Kepemimpinan kharismatik menjadi salah satu faktor khusus yang perlu dipertimbangkan dalam suatu pemetaan akan seorang pemimpin yang nantinya akan memiliki legalitas-otoritas untuk menentukan suatu kebijakan.
            Teori kepemimpinan karismatik saat ini sangatlah dipengaruhi oleh ide-ide ahli sosial yang bernama Max Weber. Karisma adalah kata dalam bahasa Yunani yang berarti “berkat yang terinspirasi secara agung atau dengan bahasa lain yakni anugerah”, atau dalam bahasa Kristen yakni rahmat (grace), seperti kemampuan untuk melakukan keajaiban atau memprediksikan peristiwa masa depan, sehingga melahirkan suatu perubahan yang radikal.[1] Konsep kharismatik (charismatic) atau kharisma (charisma) menurut Weber lebih ditekankan kepada kemampuan pemimpin yang memiliki kekuatan luarbiasa dan mistis. Menurutnya, ada lima faktor yang muncul bersamaan dengan kekuasaan yang kharismatik, yaitu : Adanya seseorang yang memiliki bakat yang luarbiasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut, adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan luarbiasa yang bersifat transendental dan supranatural, serta adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan.
            Melihat definisi di atas, Weber menggunakan istilah itu untuk menjelaskan sebuah bentuk pengaruh yang bukan didasarkan pada tradisi atau otoritas formal tetapi lebih atas persepsi pengikut bahwa pemimpin diberkati dengan kualitas yang luar biasa. Sebab Menurut Weber, kharisma terjadi saat terdapat sebuah krisis sosial, seorang pemimpin muncul dengan sebuah visi radikal yang menawarkan sebuah solusi untuk krisis itu, pemimpin menarik pengikut yang percaya pada visi itu, mereka mengalami beberapa keberhasilan yang membuat visi itu terlihat dapat dicapai, dan para pengikut dapat mempercayai bahwa pemimpin itu sebagai orang yang luar biasa.
            Seorang yang berkharisma merupakan orang yang menciptakan suatu perubahan eksistensial. Namun terkadang, hal itu dianggap sebagai suatu pembaharuan terhadap adat, atau melahirkan perpecahan dunia. Asumsi lain tentang pemimpin kharismatik adalah orang yang dianggap dan dipersepsikan negatif, karena mengadakan keretakan (breakthrough), yang dilatar belkangi oleh sikapnya yang memperlihatkan suatu bentuk kemerdekaan yang baru dan mau tidak mau akan menuntut sebuah ketaatan yang baru juga, antara seorang pemimpin dengan pengikut.[2]
            Tipe kharismatik merupakan salah satu dari tiga tipe yang dikemukakan oleh Weber sebagai postulat ideal dalam memandang peranan pemimpin-pemimpin keagamaan terhadap pola sosial di masyarakat. Apakah mereka juga masuk dalam tipe yang dirumuskan oleh Weber dalam konsep kharismatik, atau malah tidak. Sebenarnya Weber menjadikan tipe otoritas atau sistem kepercayaan yang mengabsahkan hubungan -hubungan dalam masyarakat menjadi tiga, yaitu dominasi hukum (legal-rasional), tradisional (estabilished), dan kharismatik (pemimpin).[3] Kekuasaan tradisional atas dasar suatu kepercayaan yang telah ada (estabilished) pada kesucian tradisi kuno. Kekuasaan yang rasional atau berdasarkan hukum (legal) adalah kekuasaan yang didasarkan atas kepercayaan terhadap legalitas peraturan-peraturan dan hak bagi mereka yang memegang kedudukan, yang berkuasa berdasarkan peraturan-peraturan untuk mengeluarkan perintah. Kekuasaan tradisional atas dasar suatu kepercayaan yang telah ada (estabilished) pada kesucian tradisi kuno. Dengan kata lain yakni bentuk kepercayaan terhadap legalitas praktek-praktek yang telah disucikan dan dibakukan. Sedangkan Kekuasaan kharismatik merupakan dominasi atau otoritas  yang didapatkan atas pengabdian diri atas kesucian, sifat kepahlawanan atau yang patut diteladani dan dari ketertiban atas kekuasaannya.
            Perbedaan mendasar antara tipe tradisional dan hukum dengan kharisma yaitu terletak pada sifatnya. Tradisional dan hukum merupakan bentuk relasi yang stabil dan terus menerus (continou), sedangkan kharisma murni berusia pendek. Menskipun demikian, seorang pemimpin yang berkharisma, itu juga dapat dan bisa mewarisi ke-kharismaan-nya kepada orang lain atau istilah Weber rutinisasi kharisma.

Rutinisasi Kharismatik
Seorang pemimpin yang kharismatik sudah memiliki kemampuan untuk mengakomodir rakyat, karena ia dicintai oleh rakyat. Kehadirannya sudah mendapat restu dari rakyat. Kemudian bagaimana membawa rakyat yang fanatic tersebut kearah yang lebih baik. Mencoba memperbaiki diri sendiri dan juga mengamalkan apa yang disebutkan nenek moyang dahulu dengan konsep Tri dharmanya, yakni Rumongso melu handarbeni (merasa ikut memiliki), Rumongso melu hangrukebi (merasa ikut bertanggung jawab terhadap kehidupan bangsa) mulat sariro hangrosowani (bersedia untuk selalu mawas diri demi perbaikan dimasa dating).[4]
Konsep tri dharma nenek moyang Jawa tersebut sangat signifikan sekali dengan idealitas masyarakat terhadap seorang pemimpin yang diidamkan. Gambaran lain dari konsep pemimpin yang memiliki otoritas dan dianggap kharismatika adalah seorang nabi atau paulus. Dalam hal ini, Weber mencoba untuk memetakan yang namanya konsep otoritas, seperti halnya yang dipegang oleh Paulus. Dalam tesisnya, Weber menyatakan bahwa yang namanya kekuasan, seperti Paulus, yakni memaksakan kehendak atau hasrat personal terhadap orang lain meskipun hal demikian mendapat perlawanan.[5] Ketika teori otoritas tersebut yang dicontohkan terhadap otoritas Paulur, dan diterapkan dalam ranah agama, ternyata hal itu cukup memiliki dampak yang signifikan terhadap pola pikir penganut agama Kristen. Baik itu berdampak positif maupun negatif. Sebab, diantara mainstreem dalam agama tersebut terdapat yang menerapkan apa yang dikatakan Weber "otoritas".[6]
Kembali kepada sub awal yakni mengenai rutinisasi kharismatik, hal itu dapat terjadi mengingat sifat-sifat yang dimiliki oleh pemimpin kharismatik dapat ditransformasikan. Semua itu biasa dilakukan dengan cara memindakan karisma kepada seorang penerus yang ditunjuk melalui tata cara dan upacara tertentu, sesuai kesepakatan awal dari masyarakat atau organisasi terkait. Namun, kemungkinan jarang menemukan seorang penerus bagi pemimpin yang luar biasa. Selanjutnya, banyak alasan mengapa seorang pemimpin karismatik bisa segan untuk cukup dini mengidentifikasikan seorang penerus yang kuat untuk memastikan transisi yang mulus. Alasan yang mungkin meliputi mekanisme pertahanan (misalnya, pemimpin menghindari memikirkan kematian atau pensiun), terlalu asyik dengan misi, dan ketakutan akan rival yang potensial.
Menurut Weber, akan muncul kepercayaan di kalangan para anggotanya terhadap adanya kharisma warisan atau adanya kharisma jabatan. Konsepsi mengenai sifat-sifat pribadi itu di sini merupakan transformasi yang berubah menjadi konsepsi yang bisa disalurkan, melalui kekuatan immaterial-supranatural yang bisa menerang orang biasa dan memberikan otoritas kepadanya. Contoh kharisma warisan adalah pemilihan beberapa orang khalifah pertama dalam Islam dari kalangan keturunan Nabi Muhammad, sedangkan contoh kharisma jabatan adalah pengemban jabatan kepausan dalam agama Kristen di Barat.[7]
Dalam rutinisasi kharisma ini, pandangan Weber bisa terbilang pesimis, ketika menilai bahwa sifat kharismatik hanya terdapat pada proses permulaannya dan nanti ketika pemimpin tersebut meninggal, maka kharisma tersebut akan beralih menjadi impersolan, biasa dan murni. Bagi Weber, tanda-tanda nyata otoritas bukanlah sebagian bentuk dari kharisma murni atau tulen, tapi yang dikatakan Weber sebagai kharisma murnia adalah pengabdian kepada orang dan bukan dari peluang-peluang kemukjizatan atau magikal orangnya. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa terdapat disharmonis antara kharisma buatan dan murni. Kharisma buatan didasarkan pada kepentingan atas pekerjaan, sedangkan kharisma murni lebih menitik beratkan kepada pengabdian pada seseorang.

Konsekuensi Kepemimpinan Kharismatik
            Bagaimana caranya membedakan antara pemimpin kharismatik yang positif dan negatif telah menjadi masalah bagi teori kepemimpinan. Sebab tidak selalu jelas apakah seorang pemimpin tertentu harus digolongkan sebagai kharismatik positif atau negatif. Salah satu metode untuk menguji adalah dengan mengukur konsekuensi bagi pengikut.
            Ketika berbicara mengenai konsekuensi dari kepemimpinan kharismatik, pasti tidak akan lepas dari tolak ukur orientasi pemimpin kharismatik tersebut. membincangkan soal orientasi tersebut mengenai positif dan tidaknya, hal itu baik sekali untuk melihat dari sisi psikologis dengan teori orientasi agama.[8] Mekanisme dari teori ini adalah melihat orientasi pemimpin yang kharismatik tersebut apakah benar-benar untuk mementingkan kepentingan umum yang diembankan kepadanya? Atau malah lebih mementingkan kepentingan pribadi dengan legal-rasionalitas-otoritas yang dipegangnya. Hal itu akan memetakan terhadap konsekuensi seorang pemimpin kharismatik.
            Seorang pemimpin kharismatik bisa saja dikatakan berorientasi intrinsik jika dia lebih mementikan kepentingan umum atau kekuasaan sosial. Para pemimpin ini menekankan internalisasi dari nilai-nilai bukannya identifikasi pribadi. Mereka berusaha untuk menanamkan kesetiaan kepada diri mereka sendiri. Otoritas didelegasikan hingga batas yang cukup besar, informasi dibagikan secara terbuka, didorongnya partisipasi dalam keputusan, dan penghargaan digunakan untuk menguatkan perilaku yang konsisten dengan misi dan sasaran dari organisasi. Hasilnya adalah kepemimpinan mereka akan makin menguntungkan bagi pengikut walaupun konsekuensinya yang mendukung tidak dapat dihindari jika strategi yang didorong oleh pemimpin tidak tepat.
            Beda halnya dengan seorang pemimpin kharismatik yang berorientais ekstrinsik merupakan suatu yang negatif dan memiliki orientasi kekuasaan secara pribadi. Mereka menekanka identifikasi prbadi daripada internalisasi. Secara sengaja mereka berusaha untuk lebih menanamkan kesetiaan kepada diri mereka sendiri daripada idealisme. Mereka dapat menggunakan daya tarik ideologis, tetapi hanya sebagai cara untuk memperoleh kekuasaan, dimana setelahnya ideologi itu diabaikan atau diubah secara sembarangan sesuai dengan sasaran pribadi pemimpin itu. Mereka beusaha untuk mendominasi dan menaklukkan pengikut dengan membuat mereka tetap lemah dan bergantung pada pemimpin. Otoritas untuk membuat keputusan penting dipusatkan pada pemimpin, penghargaan dan hukuman digunakan untuk memelihara sebuah citra pemimpin yang tidak dapat brbuat kesalahan atau untuk membesar-besarkan ancaman eksternal kepada organisasi. Keputuasan dari para pemimpin ini mencerminkan perhatian yang lebih besar akan pemujaan diri dan memelihara kekuasaan daripada bagi kesejahteraan pengikut.


Kesimpulan
            Pada pembahasan mengenai Kepemimpinan Kharismatik dapat ditarik beberapa kesimpulan terkait dengan hal tersebut. Salah satu poin-poin tersebut adalah sebagai berikut:
            Pemimpin kharismatik dalam kaca mata Weber merupakan suatu fenomena sosial yang terdapat pada waktu kebutuhan kuat muncul terhadap legitimasi otoritas. Weber menekankan bahwa yang menjadi barometer kebenaran kharisma adalah pengakuan pengikutnya.
            Gejala pemimpin kharismatik tersebut pada umumnya pada saat terjadi sebuah krisis, baik itu krisis kepemimpinan. Sehingga adanya kharisma tersebut akan melahirkan sesuatu yang beda dari sebelum adanya kharisma dengan setelahnya. Menurutnya, ada lima faktor yang muncul bersamaan dengan kekuasaan yang kharismatik, yaitu : Adanya seseorang yang memiliki bakat yang luarbiasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut, adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan luarbiasa yang bersifat transendental dan supranatural, serta adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan.
            Akan tetapi, ada sisi lain yang juga perlu disentuh dari kelemahan konsep kharismatik. Terkadang kharisma melahirkan suatu hal yang paradoksal. Parodoks kharisma adalah bahwa dalam bertindak sebagai salah satu sumber perubahan sosial, ia dengan mudah sekali merebut hati, sebaliknya iapun gampang dibasikan oleh karena kelompok-kelompok sosial pendukungnya menganggap pesan kharismatik tersebut selalu bersangkut paut dengan situasi kebutuhan-kebuthan material dan idealnya.
            Segi paradoksal lainya adalah terletak pada masalah diterimanya perubahan kharisma oleh kelompok-kelompok sosial. Sebab pemimpin kharismatik muncul disaat terjadi krisis. Maka akan menjadi persoalan ketika terdapat pesan kharisma yang juga serupa dan lahir dari tokoh yang berbeda. Hal itu secara implisit akan mengundang persaingan mencari pengikut dan penganut. Karena akan melahirkan prejudice akan kharisma palsu atau pseodu kharisma.


Daftar Pustaka
Abdullah, Syamsuddin, Agama Dan Masyarakat (Pendekatan Sosiologi Agama), Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Crappas, Robert W., An Introduction to Psychology of Religion, terj. A. M. Hardjana, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Scharf, Betti R., Kajian Sosiologi Agama, terj. Machnun Husein, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995.
Turner, Bryan S., Sosiologi Islam; Suatu Telaah Analistis Atas Tesa Sosiologi Weber, terj. G. A. Ticoalu, Jakarta: CV. Rajawali, 1974.
­­­­­­­­­_____________, Agama Dan Teori Sosial. Rangka Pikir Sosiologi DAlam Membaca Eksistensi Tuhan Di Antara Gelegar Ideologi-Ideologi Kontemporer, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.
Wrong (Ed.), Dennis, Max Weber Sebuah Khazanah, terj. A. Asnawi, Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003.
Prabowo, Andika, Menggagas Pemimpin Kharismatik Modern, dalam situs:



[1] Konsep kharismatik tersebut sebenarnya memiliki cakupan makna yang cukup luas. Max Weber mendefinisikan konsep kharismatiknya sebagai suatu pengklasifikasi-an terhadap pola atau tipe otoritas. Tiga macam otoritas tersebut yang dijadikannya sebagai postulat atau dalil  wujud ideal antara lain tipe kharismatik, tradisional, dan legal-rasional. Lihat, Betti R. Scharf, Kajian Sosiologi Agama, terj. Machnun Husein, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995), hlm. 206.
[2] Prejudice tersebut lahir karena melihat bahwa lahirnya pemimpin charisma, salah satu faktornya yakni dengan adanya suatu kondisi yang krisis, waktu perang atau pada waktu kebudayaan saling bertentangan, terutama disebabkan oleh masalah akulturasi. Dan sisi lain, charisma selalu menyebabkan perubahan sosial, sehingga menciptakan situasi baru yang berbeda dengan situasi sebelum adanya charisma. Lihat, Syamsuddin Abdullah, Agama Dan Masyarakat (Pendekatan Sosiologi Agama), (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 41.
[3] Dalam pemetaan tiga tipe dominasi kekuasaan atau otoritas tersebut terjadi karena faktor sosilogi politik yang menyangkut pada keabasahan kekuatan dan kekuasaan. Sebab bagi Weber, tak ada kekuasan yang stabil, apalagi kalau kekuasaan tersebut didasarkan pada intimidasi fisik dan kelicikan. Orang-orang akan mempercayai kekuasan (menaati) tersebut kalau memiliki alasan-alasan yang legal atas kekuasaant tersebut. lihat, Bryan S. Turner, Sosiologi Islam; Suatu Telaah Analistis Atas Tesa Sosiologi Weber, terj. G. A. Ticoalu, (Jakarta: CV. Rajawali, 1974), hlm. 36-37.
[4] Andika Prabowo, Menggagas Pemimpin Kharismatik Modern, dalam situs:
[5] Dalam penjelasanya, waber mencoba untuk menjabarkan bagaimana konsep otoritas ini tidak hanya berlaku dalam kalangan dunia politik, tapi dalam ranah agama hal demikian juga terjadi, seperti halnya dalam hierarkhi gereja katolik. Dan max waber membedakan tipe kekuasan tersebut menjadi dua tiipe, antara lain: dominasi atas orang lain yang mencoba untuk mempengaruhi kepentingan mereka, dan dominasi yang bergantung pada otoritas, yakni kekuasaan untuk memerintah dan yang diperintah mau tidak mau harus tunduk dan patuh. Lihat Dennis Wrong (Ed.), Max Waber Sebuah Khazanah, terj. A. Asnawi, (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003), hlm.229-230.
[6] Zulkarnain, Rasionalisasi dan Orientasi Agama (Menguraikan Signifikansi Agama Terhadap Pola Hidup Manusia), makalah sosiologi yang dipresentasikan dalam materi sosiologi pada Jur. Perbandingan Agama, Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2009, Hlm. 3-4.
[7] Betti R. Scharf, Kajian Sosiologi Agama. . . . . hlm. 207.
[8] Teori orientasi agama ini sudah dikembangkan oleh Allport, Allen, dan Spilka dalam membedah pengalaman keberagaman, khususnya dalam kajian psikologi agama. Teori orientasi agama tersebut berbicara bahwa terdapat dua pola orientasi agama yang sangat bertolak belakang. Pertama, orientasi beragama intrinsik. Kedua, orientasi beragama ekstrinsik. Orientasi beragama intrinsik adalah keberagamaan yang berlandaskan agama, sedangkan orientasi keberagamaan ekstrinsik merupakan keberagamaan yang menjadikan agama sebagai intstrumen untuk memenuhi kebutuhan pribadinyal. Perilaku individu tersebut dapat diketahui faktor penyebabnya melalui mentalitas intrinsik-ekstrinsik non diskriminatif sebagai pisau analisis dalam menguraikan faktor tindakan tersebut. lihat Robert W. Crappas, An Introduction to Psychology of Religion, terj. A. M. Hardjana, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 179.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;