Jumat, 07 Januari 2011

Pembacaan Terhadap Pola Pikir Tasawuf-Filsafat Mulla Shadra

Sekilas tentang Mulla Shadra

Secara faktual nama yang sering kali dikenal Mulla Shadra sebenarnya nama panggilan yang diberikan kepada Shadr al Din Muhammad bin Ibrahim. Kata Mulla mempunyai arti ilmuwan besar dan dikombinasikan dengan nama panggilan waktu kecil, Shadra, sehingga jadilah Mulla Shadra. Shadr al Din Muhammad bin Ibrahim lahir di syiraz pada tahun 979H/1571M.[1] Mulla Shadra lahir dikalangan keluarga terpandang yang mana ayahnya, Khajah Ibrahim Qiwami, konon menjadi menteri di istana Shafawiyan. Pada saat Mulla Shadra lahir, Syiraz adalah kota bersejarah Iran dan terletak di wilayah Pars, di zaman Mulla Shadra, pemerintah Iran di bawah kekuasaan keturunan Shafawiyan yang secara resmi mengakui kemerdekaan wilayah Pars, saudaranya menjadi raja di wilayah Pars dan salah satu menterinya adalah ayah Mulla Shadra.

Sedikit bercermin dari sisi keluarga Mulla Shadra yang masuk dalam katagori golongan orang terpandang pada saat itu, yang mana ayahnya menjadi menteri. Meskipun demikian, Mulla Shadra tidak bermalas-malasan untuk menuntut ilmu, tidak seperti kebiasan orang kaya lainnya, dan mencari guru untuk memulai mempelajari beberapa disiplin ilmu. Di antara guru-guru yang paling berpengaruh bagi dunia intelektual Mulla Shadra adalah Syaikh Bahauddin Amili (953 - 1030 M) dan Mir Muhammad Baqir Husaini (969 - 1041H). Masing-masing gurunya tersebut memiliki disiplin ilmu yang berbeda, sehingga Mulla Shadra mempunyai beberapa pengetahuan dari kedua gurunya tersebut. Yang kemudian menjadi pondasi dari berbagai karya-karyanya.

Ketekunan dan semangat belajar yang intensif telah membuahkan berbagai pola pemikiran yang gemilang dari Mulla Shadra, sehingga banyak yang mengkaji tentang pemikirannya baik dari aspek ke-filsafatan-nya dan mistisisme-nya. Adanya kedekatan waktu dengan era sekarang, sedikit banyak telah mempermudah untuk mengakses karya-karya dari Mulla Shadra baik itu yang berbentuk surat-surat, buku, ataupun yang lainnya dapat terselamatkan. Sebab, ketika jarak relatif jauh, seperti al Kindi, sedikit banyak karya-karya yang ditinggalkan banyak tak terbaca, dalam artian tidak dapat diselamatkan.

Tampkanya, ketika filosof yang bernama Muhammad dan bergelar Sharuddin (ahli agama) dan lebih dikenal dengan nama Mulla Shadra atau hanya Shadra ini muncul, filsafat yang ada, dan yang umumnya diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn Sina dan para pengikutnya. Pada abad ke 6 H/ke 12 M, Suhrawardi telah melakukan kritik terhadap beberapa ajaran dasar parepatetisme. Ialah yang meletakkan dasar-dasar bagi filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis (Hikmat al-Isyraq) yang kemudian memperoleh sejumlah pengikut. Dalam latar belakang yang demikian itulah sistem pemikiran Mulla Shadra yang khas tumbuh, yang kelihatannya benar-benar berbeda dari situasi intelektual dan spiritual pada masanya. Kesalehannya terhadap agama dapat ditunjukkan antara lain oleh kenyataan bahwa ia dikatakan meninggal pada 1050 H/1641 M di Basrah, saat berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, atau kembali darinya untuk yang ketujuh kalinya. Usianya diperkirakan tujuh puluh atau tujuh puluh satu tahun.

Pondasi Pemikiran Mulla Shadra
Pemikiran Mulla Shadra sangat memiliki peran penting bagi dunia intelektual Islam setelah Ibnu Sina, Al Ghazali, Ibn Rusyd dan Suhrawardi. Di mana pada zaman al Ghazali ada selentingan yang menyatakan bahwa filsafat khususnya dunia filsafat Islam telah mengalami kefakuman setelah mendapat kritikan pedas dari al Ghazali. Namun hal demikian terbantah setelah Ibnu Rusyd mengembalikan kembali wujud murni dari filsafat parepatetik, yakni Aristotelian. Pada era Mulla Shadra ini, telah melahirkan sebuah nuansa filsafat baru yang dipelajari secara intensif dengan berbagai analisis serta memberikan sintesis dan integrasi dari filsafat-filsafat sebelumnya. Pola pemikiran Mulla Shadra, seperti halnya para filosof dan sufi yang mengembangkan pemikiran sebelumnya, baik dari guru maupun tokoh yang berpengaruh pada waktu itu, lebih dipengaruhi oleh tokoh pemikir sebelumnya, seperti halnya Ibnu ‘Arabi (l. 506H/1165M – w. 638H/1240M) dengan nuansa gnostik-nya atau irfani dan Suhrawardi (1154-1191M) dengan corak filafat ‘isyraqiyah atau illuminasi.[2] 

Ibnu ‘Arabi mendapat gelar atau sebutan Syekh al Akbar dan memiliki corak pemikiran teosofi, yakni adanya kombinasi antara tasawuf dan filsafat dan dikenal dengan konsep Wahdat al Wujud atau Unity of Existence. Pemikiran ini timbul dari paham yang menyatakan bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu ia menciptakan alam (locus). Di kala Ia ingin melihat diri-Nya, maka Ia melihat alam karena tiap-tiap makhluk hidup yang ada di alam terdapat sifat ke-Tuhan-an (manifestasi). Dengan demikian, alam merupakan cerminan bagi Tuhan. Dalam cermin itu diri-Nya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya hanya satu. Di sinilah muncul paham kesatuan yang ditelorkan oleh Ibnu 'Arabi.

Wacana teosofi klasik dalam dunia Islam pertama kali diperkenalkan oleh Abû Yazîd al-Busthâmî. Nuansa filsafat yang mewarnai pemikiran sufistiknya terlihat dari gagasannya mengenai konsep Ittihâd (penyatuan). Menurutnya, sufi akan sampai pada penyatuan dengan Tuhan melalui Fanâ’ al-Nafs (peleburan diri) dan Baqâ’ (hidup terus menerus) yaitu kesadaran diri terhadap lenyapnya wujud jasmani, namun tetap disadari kekalnya wujud ruhani (al-Taftazânî, 1983:106).[3] Corak yang ditampilkan oleh Abu Yazid Al Busthami lebih bernuansa Dzauq yakni menekankan rasa takut, sehingga memberikan kekhusu'an bagi hamba terhadap sang pencipta. 

Adanya konsep Ittihad (penyatuan), yakni penyatuan dengan Tuhan telah memberi deskripsi bagaimana sebelum adanya Mulla Shadra corak teosofi sudah ada. Namun, pada waktu itu dapat dibilang belum disebut sebagai teosofi. Dan hal ini dikembangkan oleh Abu Mansur Al Hallaj (l. 244H/858M – w. 309H/921M) dengan konsep Hulul-nya. Ketika corak teosofi klasik dari al Busthami merebah dan dikembangkan oleh al Hallaj menjadi konsep Hulul, yakni paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu lenyap. Konsep Hulul ini bepijak pada dua pondasi, pertama adanya asumsi bahwa adanya sifat-sifat ke-Tuhan-an dalam diri manusia (Lahut) dan begitu pula sebaliknya, hadirnya sifat-sifat manusia dalam diri Tuhan (Nasut). Konsep hulul “ekstrem” telah mendatangkan berbagai pertentangan dari berbagai kalangan, khususnya para fuqaha. Meraka menganggap bahwa apa yang dipelajari oleh Al Hallaj sangat berbahaya dampaknya atau pengaruhnya bagi masyarakat awam, sehingga mereka mengambil keputusan untuk menghukum al Hallaj. Pada era al Hallaj sangat jelas sekali bagaimana hadirnya kontradiksi antara dunia mistik dengan teologi. Kemudian peristiwa tersebut telah memaku ingatan umat muslim akan kematian al Hallaj yang cukup mengenaskan. 

Setelah menilik dan menganalisa secara terperinci mengenai beberapa konsep yang bercorak teosofi sebelum Mulla Shadra, sedikit banyak telah memberi asumsi dasar bahwa pola pemikiran Mulla shadra telah mengelaborasi dan terpengaruh dari pemikiran-pemikiran sebelumnya. Dan secara tidak langsung hal demikian sedikit mempersulit pemahaman terhadap dunia teosofi Mulla Shadra sebelum mengetahui beberapa pemikir-pemikir yang mempengaruhinya.

Pada intinya, pola pemikiran Mulla Shadra adalah ingin menyatukan antara dunia mistik dan wahyu, al Quran dan as Sunnah, agar tidak menghadirkan kontradiksi di antara keduanya serta di sisi lain filsafat, yang di antara kesemuanya sama-sama menghadirkan dan mencari kebenaran. Hal itulah yang diperjuangkan oleh Mulla Shadra sebagai temuan baru dalam dunia intelektual Islam. Sebab, filosuf sebelum Mulla Shadra juga memperjuangkan hal demikian, akan tetapi tetap tidak membuahkan hasil yang cukup signifikan. Baru ketika diolah oleh keuletan Mulla Shadra hal itu terwujud dalam filsafatnya yang begitu komprehensif dari relasi berbagai perspektif.[4] Oleh karena itu lahirlah filsafat hikmah sebagai sintesis-integral dari berbagai analisis yang terlampir dalam magnum opus-nya yakni Al-Hikmah al-Muta’âliyah fi al-Asfar al-Arba’ah.

Perjalan Pengetahuan Mulla Shadra
Dari berbagai pengkaji-pengkaji Mulla Shadra, mengenai perjalan pengetahuan Mulla Shadra dapat dipetakan menjadi tiga fase.
Fase pertama, merupakan fase awal pijakan dari Mulla Shadra untuk menempuh dunia pengetahuan. masa menuntut ilmu dan mengkaji berbagai pemikiran-pemikiran Filsafat dan 'Irfan (tasawuf). Di masa ini juga pemikiran kedua gurunya -Mir Damad dan Syaikh Bahauddin- masih berpengaruh kuat pada dirinya. Pada fase ini Mulla Shadra lebih menitik beratkan kepada filsafat dan aliran teologi.
fase kedua: Karena tekanan dan prilaku yang buruk dari orang-orang yang denki (hasad) atas kemajuan ilmunya begitu juga dari orang yang benci karena pemikiran-pemikiran barunya yang banyak bertentangan dengan pemikiran ulama dan fuqaha saat itu dia kemudian meninggalkan kota Syiraz tahun 1039 H atau 1631 M dan mengasingkan dirinya ke desa Kahak dekat dengan kota suci Qum.[5] Di tempat kudus ini, ia melakukan pensucian diri dengan berkonsentrasi pada peribadatan, puasa dan riyadhah (olah batin). Setelah mengalami ketersingkapan (mukasyafah), Mulla Shadra mulai menulis bukunya yang cukup berharga yaitu “Al Asrar Al Arba”. Ia menjalani dengan cepat maqam-maqam suluk irfani hingga sampai pada derajat spiritual tertinggi dan mukasyafah. Pada tahun 1040 H atau 1632 M ia kembali ke Syiraz.

Fase ketiga: masa menulis, mengajar dan mendidik. Masa ini merupakan hasil dari dua tahapan tersebut. Di masa ini ia menulis kitab Asfar dan karya-karya lainnya yang ditulis pada tahapan pertama kehidupannya merupakan sumber-sumber untuk penulisan kitab Asfar. Mulla Shadra kembali mengajar setelah menyelesaikan secara sempurna sair wa suluk (tangga-tangga perjalanan spiritual) dan telah tersingkap (mukasyafah) baginya hakikat-hakikat Islam, dengan perbedaan bahwa pengajaran beliau kali ini dengan ilmu syuhudi (intuisi) disertai hadis dari Rasul Saw dan Ahlulbait As.[6]

Corak Pemikiran Mulla Shadra; Tasawuf-Falsafi
Filsafat hikmah yang dicetuskan oleh Mulla Shadra telah memberi paradigma baru dalam dunia intelektual islam. Filsafat Hikmah adalah kearifan yang didapat melalui pencerahan spiritual atau intuisi (mukasyafah) dan dihidangkan dalam lokus rasional (philosophy) dengan menggunakan argumen rasional (logic.)[7] Pada dasarnya, filsafat hikmah atau hikmah muta’aliyyah berdiri di atas tiga pondasi utama yakni, firman Tuhan atau wahyu, spiritual atau intuisi, serta daya nalar logis. 

Landasan teosofi transenden “atau yang dikenal dengan filsafat hikmah” dan semua dunia metafisika Mulla Shadra berpijak pada ilmu tentang wujud.[8] Begitu sentralnya gagasan tentang wujud dalam filsafat ini sehingga sebagian orang tak segan-segan menyebut Hikmah sebagai semacam eksistensialisme Islam. Wujud bagi Shadra adalah mencakup seluruh yang ada. Dalam hal ini muncul dua konsep yakni eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Bagi Shadra yang benar-benar ada itu adalah eksistensi (wujud) dan bukan esensi (mahiyah). Artinya, adanya wujud (eksistensi) itu lebih awal atau mendahului yang namanya mahiyah (esensi). Esensi tidak akan berarti tanpa eksistensi. Oleh karena itu, filsafat Shadra ini populer dengan sebutan eksistensi Islam. Bedanya eksistensi (ada/wujud) dengan esensi (mahiyah), yang paling substansial adalah bahwa eksistensi atau wujud merupakan keniscayaan, ia tidak terbatas dan tidak bermateri. Ia (wujud) mencakup segala hal, mulai dari dzat kudus ilahi, realitas-realitas abstrak dan material, baik substansi maupun kasiden dan baik esensi maupun keadaan.[9] Sebaliknya yang namanya esensi (mahiyah) merupakan ketidakniscayaan, terbatas (partikularistik) dan mempunyai materi. Jadi, ketika eksistensi tidak memiliki yang namanya batasan atau sekat, beda halnya dengan esensi yang penuh dengan batasan dan sekat. Sehingga perbedaan itu juga memberi deskripsi bahwa antara dunia materi dan immateri memiliki perbedaan yang cukup jelas, namun tetap memiliki relasi antara keduanya. 

Dalam pembahasan wujud Shadra ini ada tiga kata kunci yang biasa digunakan untuk pisau analisis yaitu, Ashaltul Wujud Wahdatul, Tasykiqul wujud, dan al-Harakatul al-Jauhariyyah.[10] Untuk ashalatul wujud ini pada prinsipnya merupakan konsep yang menyatakan bahwa wujud itu adalah tunggal, yakni antara wujud Tuhan yang transendental dengan manusia dan alam semesta yang imanen ini merupakan realitas yang satu. Untuk memahami doktrin ini, pertama-tama kita perlu beralih ke perbedaan klasik dalam filsafat antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyyah). Mulla Shadra menyatakan bahwa wujud atau eksistensilah yang penting. Karena seperti yang sudah disinggung di atas, bahwa wujudlah (eksistensi) yang memberikan keber-Ada-an pada esensi. Ketika eksistensi tidak ada, otomatis yang namanya esensi tidak ada. Sebab esensi hanyalah wadah bagi penggerak. Dan hal ini tidak jauh beda dengan konsep Aristoteles unmoved mover. 

Dalam sistem metafisika hikmah muta'aliyah, dengan berpijak pada teori kehakikian wujud dan prinsipalitas wujud (al-ashâlah al-wujud) di atas, wujud Tuhan ditegaskan sebagai wujud ber-intensitas tinggi yang tak terbatas dan makhluk merupakan sesuatu wujud yang ber-intensitas rendah, membutuhkan dan mustahil menjadi sebab kehadiran bagi dirinya sendiri, oleh karena itu dia harus bergantug kepada Wujud Mutlak (Tuhan). Mulla Sadra dalam kitab Masyâ'ir juga meletakkan hakikat wujud tersebut sebagai inti argumentasinya dan bukan persepsi wujud. Dalam uraiannya dia berkata, "Tuhan memiliki intensitas wujud tak terbatas dan keterbatasan itu adalah kemestian dari manifestasi-Nya".[11]

Keberadaan hakiki hanya milik Tuhan. Wujud Tuhan tak terbatas dan memiliki kemandirian secara esensi. Kemandirian Tuhan dalam dimensi zat dan sifat-Nya, ini berarti bahwa Dia tak bergantung kepada realitas lain, Dia tak tercipta dari realitas lain dan tak satupun selain-Nya yang dapat membinasakan-Nya. Hanya Tuhan yang berwujud, Maha Kaya, Sempurna dan tak terbatas. Wujud-Nya tak bersyarat dan Dia merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya realitas lain.
Sementara Tasykiqul Wujud atau lebih dikenal dengan gradasi wujud atau ambiguitas wujud. Dalam hal ini ditegaskan bahwa wujud tidak hanya satu atau tunggal, tetapi juga beragam atau plural, merentang dalam suatu gradasi atau hirarki, dari wujud Tuhan hingga eksistensi pasir di pantai. Setiap tingkat wujud yang lebih tinggi mengandung semua realitas yang termanifestasi pada tingkat di bawahnya.[12] Bagi Mulla Shadra, wujud adalah realitas tunggal yang muncul dalam gradasi atau tahap yang berbeda.[13] Jadi yang perlu digraisbawahi dalam konsep ini adalah bahwa wujud adalah satu, sementara tahapan-tahapan wujudlah yang berbeda. Tapi sekali lagi, tahapan-tahapan wujud ini hanya ada dalam level esensi atau mahiyyah dan bukan pada level eksistensi karena pada level eksistensi selain semua wujud satu, ia tak mempunyai jarak atau sekat apapun. 

Konsep ketiga adalah al-harakatul Jauhariyyah (Gerak substansial). Gerak sendiri definisinya adalah perpindahan dari satu titik ke titik yang lain. Karena yang sifatnya yang demikian itu, maka sudah jelas bahwa gerak ini sifatnya tergantung, ia ada dalam alam esensi dan oleh karena itu ia tidak niscaya atau serba mungkin. Karena sifatnya yang serba mungkin itu maka gerak mempunyai berbagai kemungkinan. Artinya gerak mempunyai kemungkinan pindah atau perubahan yang tak terbatas. Sebagai contoh batu. Batu ini kalau dipecah terus menerus maka, secara akal sehat ia akan terus terurai sampai tak terbatas, meskipun secara materi ia bisa habis. Karena ketakterbatsannya inilah maka gerak tentu mengandung substansi, karena substansi itu sendiri adalah eksistensi yang tak terbatas. Kalau memang gerak itu tidak mengandung substansi maka sudah barang tentu gerak itu akan berhenti pada satu titik. Padahal secara akal sehat itu tidak mungkin. Dari sini bisa ditarik benang merak, ternyata yang namanya materi itu kembali pada yang satu yakni Ada itu sendiri.

Kesimpulan
Pembahasan mengenai Mulla Shadra ini sangatlah komplek dengan berbagai element di dalamnya. Di antaranya tasawuf, teologi, dan filsafat disatu sisi. Kendati demikian, Mulla Shadra telah menghadirkan dialektika baru dalam wacana intelektual Islam dengan filsafat Hikmahnya.
Filsafat hikmah merupakan sintesis dari hasil mediasi, serta negasi dari berbagai perspektif sehingga dirangkum sedemkian rupa oleh Mulla Shadra agar tidak menimbulkan kontradiksi di dalamnya. Sebelum Mulla Shadra, seringkali ada perseteruan antara ilmu tasawuf dan teologi mauupun filsafat. Ketiga displin keilmuan ini digabung atau dikombinasikan oleh Mulla Shadra sebagai landasan terbentuknya filsafat hikmah.
Memang pada dasarnya, filsafat hikmah Mulla Shadra lebih condong pada pembahasan tentang wujud (eksistensi) dan mahiyah (esensi). Kedua element tersebut dibahas oleh Shadra sedemikian rupa hingga mencapai perbedaan yang jelas antara eksistensi dan esensi. Secara substansial, eksistensi (wujud) lebih dahulu ada dari pada esensi (mahiyah). Artinya, ketika eksistensi itu ada, otomatis membutuhkan lokus untuk dijadikan cerminan dan wadah ekspresi, meski pada hakikatnya eksistensi itu satu. Sedangkan esensi (mahiyat), itu posisinya lebih rendah dari eksistensi. Eksistensi dapat berwujud segala hal, hanya saja semua itu satu. Esensi itu lebih partikularistik dan tidak seperti eksistensi yang tidak ada sekat. Oleh karena itu, wujud merupakan intensitas tertinggi dan esensi hanya intensitas terendah. Ketika ada intensitas tertingga, yang terendah secara implisit masuk dari dunia intensitas tertinggi.


Daftar Pustaka
Sumber Rujukan Buku
Baqir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam, Mizan Bandung, 2006
Miri, Seyyed Mohsen, “Mulla Shadra: Kehidupan dan Pemikirannya”, dalam Sang Manusia Sempurna, Terj. Zubair, Jakarta: Teraju, 2000.
Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Buku Darras Filsafat Islam, Mizan Bandung, 1999.
Nasr, Sayyed Hosen, “Mulla Shadra:Ajaran-Ajarannya” Dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Kedua, Bandung: Mizan, 2003.
_________________, “Tradisis Mistik”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leamen (eds), Ensiklopedi Tematik Filsafat Islam, Buku Pertama, Bandung: Mizan, 2003.
Ziai, Hossen, “Mulla Sadra: Kehidupan dan Karyanya”, dalam Sayyed Hossein Nasrndan Oliver Leamen (eds), Ensiklopedi Tematik Filsafat Islam, Buku Kedua, Bandung: Mizan, 2003.

Sumber Rujukan Internet
Adlany, Mohammad, “Teologi Transendental Mulla Sadra”, dalam http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/001/13.html, diakses tanggal 18 Desember 2009, jam 23.35.
_________________, “Kearifan Puncak”, dalam http://telagahikmah.org/id/index.php?option=com_content&task=view&id=105&Itemid=1, diakses tanggal 18 Desember 2009, jam 23.30.
Mohibuddin, Mohammad, “Konsep Ontologi Dalam Filsafat Shadra”, dalam http://moxeeb.wordpress.com/2008/04/30/konsep-ontologi-mulla-shadra/, diakses tanggal 19 Desember 2009, jam 01.30.
Saputra, Harja, “Filsafat Illuminasi Suhrawardi [1]”, dalam http://harjasaputra.wordpress.com/2007/04/11/filsafat-illuminasi-suhrawardi-1/, diakses tanggal 14 Desember 2009, jam 21.30.



________________________________________
[1] Mengenai tahun kelahiran maupun nama dari Mulla Shadra sedikit memiliki banyak versi, ada yang menyebut Shadr al Din Syirazi. Sedangkan tahun kelahirannya, dalam salah satu referensi ada yang menyebut lahir pada tahun 1572 (Hossen Ziai, 902). Oleh karena itu, pada persoalan tahun kelahiran dan nama asli, memiliki sedikit versi yang mana intinya sama. Lihat, Seyyed Mohsen Miri, “Mulla Sadra: Kehidupan dan Pemikirannya”, dalam Sang Manusia Sempurna, Terj. Zubair, (Jakarta: Teraju, 2000), hlm. 63.
[2] Seyyed Hossein Nasr, “Tradisis Mistik”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leamen (eds), Ensiklopedi Tematik Filsafat Islam, Buku Pertama, (Bandung, Mizan 2003), hlm. 464.
[3] Al-Taftazani, 1983:106 lihat, Saputra, Harja, “Filsafat Illuminasi Suhrawardi [1]”, dalam http://harjasaputra.wordpress.com/2007/04/11/filsafat-illuminasi-suhrawardi-1/, diakses tanggal 20 Desember 2009, jam 21.30.
[4] Mulla Shaddra, “Resale-e-se Asl”, Teheran University, 1340H, hlm 6; Seyyed Mohsen Miri, “Mulla Shadra: Kehidupan dan Pemikirannya”, dalam Sang Manusia Sempurna, Terj. Zubair, (Jakarta: Teraju, 2000), hlm. 65.
[5] Mohammad Adlany, Kearifan Puncak, dalam “http://telagahikmah.org/id/index.php?option=com_content&task=view&id=105&Itemid=1”, diakses tanggal 20 Desember 2009, jam 23.30.
[6] Ibid,
[7]Mohammad Mohibuddin, Konsep Ontologi Dalam Filsafat Shadra, dalam http://moxeeb.wordpress.com/2008/04/30/konsep-ontologi-mulla-shadra/, diakses tanggal 19 Desember 2009, jam 01.30.
[8] Sayyed Hosen Nasr , “Mulla Shadra:Ajaran-Ajarannya” Dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Kedua, (Bandung: Mizan 2003), hlm. 914.
[9] Muhammad Taqi Misbah Yazdi,Buku Darras Filsafat Islam, (Bandung: Mizan 1999), hlm. 177.
[10] Haidar Baqir, dalam Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Mizan 2006), hlm.173.
[11] Mulla Sadra, al-Masyâ'ir, hal. 69, dalam Mohammad Adlany, “Teologi Transendental Mulla Sadra”, dalam http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/001/13.html, diakses tanggal 20 Desember 2009, jam 23.35.
[12] Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, 2003 hlm.916-917.
[13] Haidar Baqir, Buku Saku Filsafata Islam, 2006, hlm.177

0 komentar:

Posting Komentar

 
;