Rabu, 22 Februari 2012 1 komentar

Kebenaran Tanpa Kekerasan

http://peacefulcity.org/
Di negara demokrasi protes dan aksi menyuarakan aspirasi sah-sah saja dilakukan. Seperti dalam Pasal 28E UUD 1945, konstitusi melindungi setiap orang atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Tapi, jangan lupa bahwaadanorma-normayangwajibditaati. Ruang demokrasi bukanlah ruang kosong, melainkan ruang penuh norma,etika,dan nilai etis yang patut dikedepankan. Namun,alam demokrasi ini seringkali dicederai oleh kiprah ormas anarkistis seperti Front Pembela Islam (FPI) yang mengedepankan anarkisme dalam aksiaksinya. Jadi tidak mengherankan jika banyak kalangan yang menolak hingga ingin membubarkan keberadaan FPI dari bumi Indonesia.
Strategi dakwah radikal yang diusung FPI sejatinya tidak pantas dipertahankan dan dijadikan instrumen dalam menegakkan hukum.Terlebih lagi sebagai upaya menuju jalan kebenaran, yakni amar makruf nahi munkar, sungguh tidak mencerminkan ajaran agama Islam yang menebar cinta kasih bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamiin). Sebaliknya, semakin mencoreng citra agama Islam di mata dunia. Aksi anarkisme dalam bentuk apa pun selamanya tidak akan mendapat pembenaran oleh akal sehat,agama,dan negara.Masih banyak cara yang lebih halus dan tampak simpatik serta persuasif yang bisa dikedepankan dalam menegakkan kebenaran.

Tidak harus dengan aksi kekerasan yang merugikan banyak pihak tersebut. Seharusnya FPI mulai sadar dengan penolakan dari sebagian warga Palangkaraya, Kalimantan Tengah,bahwa aksi radikalnya selama ini keliru dan harus diubah dengan pendekatan yang santun dan islami seperti dengan cara berdialog atau musyawarah. FPI harus menempuh jalur konstitusi yang benar dengan melapor ke polisi tanpa harus main hakim sendiri alias menjadi pengganti negara.
Selasa, 21 Februari 2012 1 komentar

Motivasi Menulis

http://kangarul.com
Harus diakui, kebijakan Dirjen Dikti tentang kelulusan program sarjana yang harus didahului penerbitan karya ilmiah pada jurnal imiah terkesan memberatkan. Namun, selama tujuannya untuk meningkatkan kualitas dan produktifitas karya ilmiah mahasiswa, hal itu tidaklah merugikan.
Bagaimanapun, kebijakan ini bernilai positif dan patut diapresiasi. Setidaknya, dengan adanya peraturan baru ini mahasiswa diharapkan dapat termotivasi untuk lebih giat belajar meneliti dan menulis.
Selama ini, mayoritas mahasiswa menulis hanya jika ada tugas pembuatan makalah. Itu pun terkadang masih digarap secara berkelompok. Ironisnya, masih ada juga yang tidak ikut berpartisipasi. Bagaimana tak rendah produktifitas karya ilmiah mahasiswa jika perilakunya seperti itu?
Namun, upaya untuk membudayakan tradisi meneliti dan menulis itu pun tak mudah dan butuh waktu lama. Apalagi kebijakan ini dibuat secara “instan” dan terkesan menekan.
Sungguh, ini membuat frustasi. Akan tetapi, harapan itu masih ada asalkan kebijakan ini diterapkan secara bertahab dimulai dari kampus yang sudah mumpuni lalu ke kampus lain. Alhasil, keringnya produktifitas karya ilmiah pasti akan teratasi.
*Tulisan ini pernah dimuat di kolom Argumentasi Kompas Kampus, Selasa, 21 Februari 2012.
Selasa, 07 Februari 2012 1 komentar

Pudar

http://pratanti.files.wordpress.com


Dulu, budaya diskusi menjadi ciri khas utama seorang mahasiswa. Hampir di seluruh area kampus diwarnai oleh kelompok-kelompok diskusi. Persoalan-persoalan kampus, baik itu sistem pemerintahan kampus dan materi-materi kuliah, bukan satu-satunya topik utama yang mewarnai jalannya diskusi, namun juga persoalan kebangsaan dan kesejahteraan masyarakat.
Kini, budaya diskusi ini telah memudar seiring dengan arus modernisme. Kecakapan dan ketangkasan mahasiswa dalam berpikir, berpendapat, dan bersikap telah tergerus oleh budaya hedonis.
Mahasiswa saat ini lebih sering shopping dan clubbing atau “dugem” daripada membaca buku dan diskusi. Walaupun ada yang rajin kuliah, paling hanya “memburu nilai dan gelar” agar lulus tepat waktu tanpa nolah-noleh alias apatis terhadap persoalan kebangsaan.
Padahal, bukan kelulusan tepat waktu yang harus dicari, namun kematangan intelektual pribadi yang sepatutnya lebih diutamakan oleh mahasiswa, mengingat peran mahasiswa sebagai agent of change. Karenanya, mari tanamkan kembali budaya diskusi, membaca buku dan ikut organisasi sebagai eksistensi sejati mahasiswa.
* Tulisan ini pernah dimuat di Kompas Kampus kolom Argumentasi pada hari selasa, 7 Februari 2012.
 
;