Sabtu, 12 November 2011 0 komentar

Menakar Signifikansi Tasawuf Dalam Kehidupan


Hadirnya manusia sejatinya telah membuktikan akan eksistensi Tuhan, Realitas Mutlak atau supreime being. Hal ini diperkuat oleh sebuah hadits yang menyatakan bahwa siapa yang mengenal atau mengetahui dirinya sendiri, dia sebenarnya telah mengenal dan mengetahui penciptanya, yakni Tuhannya. Oleh karena itu, pada dasarnya manusia memiliki potensi atau talenta dalam menangkap unsur ilahiah pada dirinya tersebut, dan semua itu tergantung bagaimana bentuk proses yang dilakukannya.
http://tanbihun.com/tasawwuf/tasawuf/konsep-zuhud-dalam-kajian-tasawuf/
Dalam mencari jati diri seutuhnya, baik yang bernuansa vertikal maupun horizontal, manusia lebih menitik beratkan pada olah akal (rasio) dan jiwa (intuisi). Ketika manusia hanya berkutat pada olah akal, maka yang akan tampak dihadapanya lebih bernuansa materi semata atau duniawi, dan terdapat keengganan untuk memahami apa yang bersemayang dibalik materi tersebut. Orientasi akal atau filsafat adalah memahami secara radikal terhadap sesuatu yang menjadi pengamatannya atau apa yang diamati, sehingga memberikan pengetahuan yang komprehensif dan sistematis. Kendati demikian, pengetahuan yang didapat dari hasil eksploitasi rasio, hanyalah kulit luarnya semata. Beda halnya dengan intuisi atau tasawuf yang lebih mengarah kepada substansi yang berada dibalik wujud yang tampak atau materi. Kendati keduanya berjalan dalam ranah yang berbeda, hal itu tidak menutup adanya sinergitas di antara kedua. Bukti konkrit akan hal itu yakni adanya kombinasi antara tasawuf dan filsafat yang dikenal dengan term tasawuf illuminative atau tasawuf falsafi, yakni aliran filsafat yang dalam pencapaian pengetahuannya tidak hanya mengandalkan kekuatan rasio (al-‘aql) rasionalitas spekulatif, melainkan juga mendasarkannya pada kekuatan intuisi (adz-dzauq) spiritualitas intuitif.[1]
Jumat, 27 Mei 2011 0 komentar

Landansan Filosofis dan Praksis Hubungan Antar Agama


Oleh: Zulkarnaen Madani

Agama merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Manusia memiliki unsur ke-Tuhan-an yang menjadi garis relasional antara ciptaan dan Sang pencipta (creat and creator). Sehingga antara Tuhan dan manusia terdapat suatu ikatan yang bisa dikatakan tidak dapat dilepaskan, walaupun ada sebagian orang yang menyatakan dirinya tidak memiliki Tuhan atau berTuhan (atheist). Namun, pada hakikatnya mereka tetap memiliki unsur keTuhanan yang bersemayang dalam tubuh manusia, yang lebih dikenal dengan jiwa atau nafs.
Tuhan memang menjadi hal inti dalam segala sistem di alam semesta ini. Semua hal yang ada di alam semesta tidak lepas dari kendali dan pengawasan Tuhan. Maka dari itu, tidak menutup kemungkinan jikalau nantinya terdapat interpretasi terhadap Tuhan, baik itu terkait sifat-sifat-Nya, ciptaan-Nya maupun wujud-Nya. Yang akan melahirkan suatu diversitas pandangan atau pemahaman terhadap eksistensi Tuhan.
Ada beberapa teori yang melatar belakangi terciptanya keberagaman dibalik kesatuan risalah agama-agama. Salah satu teorinya yakni teori evolusi dan revelasi. Teori revolusi ini lebih dipengaruhi oleh teori revolusi Charles Robert Darwin yang menyatakan bahwa organisme yang hidup sekarang merupakan kelanjutan dari organisme sebelumnya. Keberlangsungan hidup suatu orgnanisme itu tidak serta merta berjalan mulus, namun ada tantangan dan perjuangan untuk tetap hidup (survival for live). Ketika manusia sudah masuk dalam permainan seleksi alam, niscaya mereka harus berlomba-lomba untuk beradaptasi dan kuat yang dapat bertahan hidup hingga sekarang (survival for the fittest).[1]
Dalam studi agama, teori di atas dijadikan instrument dalam melihat fenomena keagamaan, sehingga lahirlah teori-teori asal usul agama, seperti animisme, dinamisme, henoteisme, animatisme, serta high God. Sedangkan teori kedua yang juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberlangsungan agama-agama yakni teori revelation atau wahyu. Pada dasarnya teori ini menyatakan bahwa setiap agama membawa pesan yang sama. Agama dalam teori ini merupakan aturan yang diwahyukan oleh Tuhan kepada manusia melalui nabi.
Teori tersebut di atas kemudia dikenal dengan teori ur-religion.  Teori ini berbicara bahwa pada hakikatnya setiap agama sudah memiliki pesan yang sama dari Tuhan. Hanya saja pesan tersebut mengarungi nuansa sosial masyarakat dari masa ke masa, sehingga menciptakan berbagai interpretasi yang akhirnya melahirkan agama-agama. Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa dari berbagai cara pandang yang dilakukan oleh agama-agama, pada intinya masih memiliki garis penyatu, yakni pesan Tuhan yang sama.[2]
Lahirnya diversitas agama-agama memang merupakan suatu anugerah tersendiri bagi umat manusia. Dengan adanya perbedaan itulah manusia nantinya akan belajar berinteraksi sosial tanpa mencederai salah satu pihak, golongan, maupun agama.
Pentingnya hubungan agama berbasis filosofis dan praksis yang berkutat pada ranah filsafat perennial, transcendent unity, dunia modern dengan beragam perkembangannya, akan membuat sebuah tantangan baru terhadap agama. Hal ini nantinya juga akan memberikan deskripsi terkait dengan corak yang akan ditampkan oleh agama-agama dalam mengkonstruk relasi sosial religius.
Agama yang satu dan lainnya pada hakikatnya telah memiliki relasi yang  bernuansa doktriner. Seperti halnya dengan konsep interpenetrasi yang menyatakan bahwa kehidupan agama-agama sebenarnya telah atau juga terdapat pada agama lainnya. Hal ini akan terlihat nampak jelas ketika tidak ada suatu kesempurnaan terhadap suatu agama. Karena pembahasan yang terdapat pada satu agama, seperti nabi Muhammad dalam Islam, itu juga telah dibahas jauh-jauh hari dalam kitab-kitab suci agama Yahudi dan Nasrani.
Fenomena demikian sebenarnya telah menguatkan bagaimana hubungan yang seharusnya terjalin dan dibina oleh umat beragama, agar dapat hidup harmonis, tentram, dan damai. Karena perbedaan itu bukanlah dosa, melainkan anugerah bagi makhluk seluruh alam semesta.

A.      Relasi Agama Berbasis Transcendent Unity
Agama merupakan sesuatu yang bersifat abstrak dan individualis. Agama lahir dalam jiwa seseorang sehingga timbul keyakinan yang mendalam terhadap Tuhan. Tidak ada topik yang lebih menarik untuk dibahas selain agama, karena jika berbicara masalah ini seseroang akan menanggapinya secara antusias dan emosional. Namun terkadang mereka cenderung memandang agama secara subjektif, padahl seharusnya kajian tentang hal yang sangat mendasar dan manusiawi ini dipandang secara objektif. Karena setiap orang tentu akan menganggap agama yang diyakininya adalah agama yang paling benar, tanpa meliaht sisi kebenaran atau bahkan kesempurnaan agama lain. Barangkali dalam hal ini cenderung leibh eksklusifisme.
Setiap agama pasti memiliki persamaan dan perbedaan dengan hal-hal lainnya. Demikian juga dengan halnya agama-agama ada banyak perbedaan bahkan persamaan. Namun perbedaanlah yang cukup mencolok dalam hal ini, karena dengan perbedaan inilah yang akan melahirkan dan memunculkan perbedaan keyakinan dari agama yang dianut.
Bagi Frithjof Schuon, dalam bukunya "Mencari Titik Temu Agama agama, penerjemah Saafroedin Bahar." Menyatakan bahwa hidup ini ada tingkatan-tingkatannya. Dari segi metafisik, hanya pada Tuhanlah, yang berada ditingkat tertinggi, terdapat titik temu berbagai agama. Sedangkan pada tingkatan bawahnya, agama-agama tadi saling berbeda. Dari segi epistimologis dapat pula dikatakn bahwa perbedaan antara agmaa yang asatu dengan agmaa yang lain juga mengecil dan menyatu ditingkat tertinggi, sedangkan ditingkat bawahnya berbagai agama terpecah-belah.[3]
Dalam versi Schuon, perbedaan antara hakikat dan perwujudan dilakukan dalam dua cara, yaitu esoteris dan eksoteris. Schuon menarik garih pemisah antara yang esoteris dan eksoteris. Harus dipahami garis pemisah tersebut bersifat horizontal dan hanya ditarik satu kali membelah berbagai agama yang ditemui sepanjang sejarah. Dan di atas garis tersebut terletak paham eksoteris. Karena pada dasarnya semua agama pada hakikatnya adalah sama (esoteris) dan hanya berbeda dalam bentuknya saja (eksoteris).[4]
Perwujudan pribadi yang maha tinggi terlihat dalam semua agama wahyu dengan tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Wilayah ini juga merupakan tempat menyatunya berbagai agama. Pada wilayah esoteris ini lebih bersifat rahasia namun bukan karena orang yang menggetahuinya tidak bisa menjelaskan, melainkan karena kebenaran yang merupakan rahasia tersebut terbenam didalamnya unsur manusiawi. Dalah hak kesatuan dan perbedaan agama merupakan masalah bentuk-bentuk rohani yakni, yang esoteris dan eksoteris.
Tuhan adalah suatu kesatuan yang absolut, tidak dapat dilukiskan atau bahkan dijelaskan secara tepat. Akan tetapi dalam kesatuan yang absolut merupakan hal yang serba mungkin dalam artian setiap kemungkinan haruslah terwujud di dalamnya.
Dalam perspektif lain untuk dapat memahami yang ilahi (transenden), ada element yang harus diprioritaskan, yakni etika. Karena etika merupakan pergumulan untuk "hidup yang benar dan baik" sehingga dapat memahami dan merasakan apa yang dilaksanakan dalam ibadah dan apa yang harus diakui. Jadi, orto-praksis (bertindak yang benar) memiliki prioritas praktis atas ortodoksi (pengakuan iman yang benar).[5]
Terlepas dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa inti dalam agama-agama hanyalah satu kesatuan. Dan kesatuan tersebut bukan saja moral, teologis, melainkan juga metafisik dalam arti sebenarnya untuk dapat mengatasi sesuatu yang kelihatan tersebut. Akan tetapi, berhubung sifatnya yang adikodrati, supreme being, realitas mutlak, tidak seorang pun dapat menjelaskan dengan hal yang sama. Karena pada umumnya semua agama itu bersifat abstrak. Sedangkan hal konkrit, yang justru tidak bersifat umum, ditemukan pada semua agama, padahal hanya yang konkret-empiris yang terkadang lebih dicintai dan dapat dipuja banyak orang.[6]

B.       Agama-agama Dalam Perspektif Perennialisme
Seiring berkembangnya kemajuan tekhnologi manusia pada zaman sekarang atau bisa disebut manusia modern, yang melihat segala sesuatu hanya dari sudut pandang pinggiran esksitensinya itu tidak pada "pusat spiritualitas dirinya" sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya. Manusia memiliki penggetahuan material atau perkembangan kehidupan dunia secara mengagumkan. Tapi secara kualitatif dan keseluruhan tujuan hidupnya mengakut pengertian dirinya ternyata dangkal. Maka dari itu, dunia ini menurut manusia modern adalah dunia yang memang tidak memiliki dimensi transcendental. Pandangan demikian menjadi wajar jika peradaban modern yang dibangun selama ini tidak menyertakan hal yang paling esensial dalam kehidupan manusia, yaitu dimensi spiritual.
Kita semua mengetahui bahwasanya  kita hidup ini tidak lepas dari alam dan sang Pencipta (creator). Dari perkataan human being, kata human yang mengacu pada badan manusia dan being yang mengacu pada jiwanya. Namun untuk manusia modern sekarang ini diperlukan penjelasan yang lebih perihal kedua entitas tersebut, khususnya tentang hakikatna yang bersifat rohani. Badan manusia yang bersifat fisikal tapi sebagai jiwa manusia yang bersifat non-fisikal yang tidak tergantung sama sekali kepada manifestasi badannya yang terus berubah-ubah. Menurut pandangan tradisional hakikat manusia adalah sesuatu ang bersifat non-fisik. Dari munculnya banyak persoalan jiwa itulah maka lahir filsafat perennial.
Dari segi historis, filsafat perennial pertama kali digunakan di dunia Barat oleh Augustinus Steuhus (1497-1548) dang judul karyanya De Perenni Philosophia yang diterbitkan pada tahun 1540. Kemudia dipopulerkan oleh Leibnitz pada tahun 1715, yang menegaskan bahwa dalam membicarakan tentang pencarian jejak-jejak kebenaran dikalangan para filosof kuno dan tentang pemisahan yang terang dari yang gelap, sebenarnya itulah yang dimaksud dengan filsafat perennial.
Namun dari segi makna jauh sebelum Steichus dan Leibnitz, agama Hindu telah membicarakannya dengan mengistilahkan sebagai Sanata Dharma. Dan dikalangan kaum muslim, merek telah mengenalnya lewat Ibnu Maskawih (932-1030) dengan judul karyanya "Al Hikmah Al Khalidah" dalam bahasa Persia disebut "Jauhidan Khirad". Dalam buku itu Maskawih banyak membicarakan pemikiran-pemikiran dan tulisan-tulisan orang-orang suci dan para filosof. Termasuk didalamnya mereka yang berasal dari Persia kuno, India dan Romawi.
Dengan demikian inti pandangan perennial adalah bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi esoteric ada sebuah pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama, yang muncul melalui beragam nama, attribute, dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan symbol.
Adapun wacana yang dipelajari dalam filsafat perennial ini adalah pertama tentang Tuhan, wujud yang absolut, sumber dari segala sumber. Tuhan yang maha benar adalah satu. Sehingga semua agama yang muncul dari yang satu pada prinsipnya sama. Karena datang dari sumber yang sama pula. Kedua, filsafat perennial ingin membahas fenomena pluralisme agama secara kritis dan kontemplatif. Ketiga, filsafat perennial berusaha menelusuri akar-akar kesadaran religiusitas seseorang atau kelompok melalui simbol-simbol, ritus serta pengalaman keberagamaan.
Dalam kaitannya dengan filsafat perennial, Islam memandang bahwa doktrin tentang tauhid tidak sekedar hanya menjadi pesan bagai Islam saja, melainkan juga sebagai hati dan inti dari setiap agama. Pewahyuan bagi Islam adalah penegasan ualng mengenai doktrin tauhid yang sudah ditegaskan sebelumnya oleh agama-agama yang hadir mendahului kerasulan Muhammad. Karena pewahyuan itu turun pada masyarakat yang berbeda-beda, maka bahasa yang digunakan untuk mengekspresikannya pun juga berbeda. Meskipun isi dan substansinya tetap sama. Dalam pandangan perennial, substansi adalah primer sedangkan bahasa hanyalah sekunder.[7]
Selain hal itu, perlu diketahui bahwa dalam pembicaraan filsafat perennial ini tidak dipahami sebagai paham atau filsafat yang berpandangan bahwa semua agama adalah sama, akan tetapi filsafat perennial yang berpandangan bahwa kebenaran mutlak hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari yang satu ini memancar kebenaran, seperti matahari yang secara niscara yang memancarkan cahayanya.[8]

C.      Wujud Agama Dalam Realitas Modern
Prediksi para ilmuwan Barat yang menyatakan bahwa agama formal (organized religion) akan lenyap, atau setidaknya akan menjadi urusan pribadi, ketika iptek dan filsafat semakin berkembang, ternyata tidak terbukti. Sebaliknya, dewasa ini sedang terjadi proses artikulasi peran agama (formal) dalam berbagai jalur sosial, politik, budaya, ekonomi, bahkan dalam teknologi. Tapi sungguh membingungkan, ekspresi dan artikulasi peran agama tersebut justru melahirkan suasana mencekam, tidak ramah dan selalu mengundang konflik dan permusuhan.
Memang harus diakui bahwa manusia telah melalui suatu perjalanan panjang dalam pencarian hakekat dan makna hidupnya. Pengalaman demi pengalaman telah dilalui yang pada akhirnya manusia telah sampai kepada puncak kemajuan melalui pengemangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dimana IPTEK mendominasi segala aspek kehidupan.
Kemoderenan selalu identik  dengan kehidupan keserbaadaan, sedangkan modernisasi itu sendiri merupakan salah satu cirri umum peradaban maju – yang dalam sosiologi berkonotasi perubahan sosial masyarakat yang kurang maju atau primitive untuk mencapai tahap yang telah dialami oleh masyarakat maju atau berperadaban.
Lahirnya era modernisme yang mengglobala, sedikit banyak telah mempengaruhi laju keberagamaan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari dampak yang dilahirkan oleh arus globalisasi yang ditelorkan oleh zaman modern saat ini adalah lahirnya gerakan-gerakan yang lebih bersifat eksklusif dan mencekam. Semuat itu terjadi karena ada beberapa pemeluk agama yang ingin mempertahankan nilai-nilai religius di tengah arus globalisasi.
Ketika agama sudah menjadi wujud yang menakutkan dengan gerakan-gerakan seperti halnya fudamentalisme, secara implisit akan merenggangkan hubungan antar agama yang bisa dibilang awalnya harmonis menjadi disharmonis dengan berbagai alasan. Kekuatan resistensi ini memang terbilang tangguh dalam mencegah hegemoni sistem dunia global dengan jiwa penegasan jati diri keagamaan (religious self assertion).[9] Akan tetapi, di sisi lain hal itu akan berdampak terhadap keberlangsungan hubungan antar agama yang dilandasi sikap "paling benar" atau truth claim.
Sikap yang seharusnya dibangun oleh masyarakat beragama dalam mengimbangi kemajuan tekhnologi yang telah meleburkan sekat-sekat geografis yakni dengan merubah (revise) atau merombak (deconstruc) ide-ide agama tradisional agar seirama dengan roh zaman, zeitgeist, serta diimbangi dengan nilai-nilai yang diyakini universal.
Fenomena keagamaan di era modern memang sering mengundang persoalan yang kompleks. Kendati demikian, ada salah satu tokoh agama-agama, Wilfred Cantwell Smith, yang menyatakan bahwa manusia di abad 21 ini harus bisa merubah masyarakat dunia yang baru saja tumbuh dan muncul dalam wujud (our nascent world society) menuju masyarakat atau komunitas dunia (a world community).[10]
Persoalan yang muncul di tengah perkembangan dunia tekhnologi terhadap hubungan antar agama terletak pada aspek religiusitas manusia.
Manusia religius yang berbasi cinta kasih, akan senantias hidup harmonis dengan segala keragaman agama-agama. Konsep tersebut juga terpatri dalam Alkitab yang menyebutkan bahwa "barang siapa tidak mengasihi, pada hakikatnya ia tidak mengenal Tuhan" (1 Yohanes 4:8).
Maka lawan sebenarnya dari perkembangan era modern adalah manusia religius bersifat egois, penakut, dan tidak memiliki cinta kasih. Maka dari itu, menurut Smith, tugas paling besar manusia modern adalah menciptakan persahabatan universal (universal friendship). Pernyataan tersebut ia tekankan bahwa di bumi maupun di langit, tidak ada sesuatu yang bernama "agama". Karena agama itu merupakan keyakinan yang terorganisir yang terus berkembang dari masa ke masa yang kemudian disebut agama.[11]


[1] Teori evolusi Darwin amat berpengaruh terhadap sistem sosial masyarakat, baik agama maupun budaya. Dengan teori seleksi alamiah dan spesies, banyak menuai dampak bagi keberlangsungan pola hidup manusia kedepan. Lihat, David Burnie, Bengkel Ilmu Evolusi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), hlm. 07.
[2] Ustadi Hamzah, Teori Asal Usul Agama (Hand Out atau Power Point Materi Sejarah Agama-agama), yang disampaikan pada matakuliah Sejarah Agama-agama pada Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.  
[3] Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 12.
[4] Pemetaan yang dilakukan oleh Schuon ini terbilang menarik untuk dijadikan suatu pola atau metode dalam melihat sisi universal dari agama-agama. Ketika Schoun membahasakan kesatuan agama terletak pada aspek esoteric-transcendent unity dan perbedaan particular-eksoteric, telah memberi ruang bagi umat beragama dalam membangun relasi yang ingklusif-dialogis. Lihat, Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, hlm. 11.
[5]  Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, (Jakarta: Bpk Gunung Mulya, 2003), hlm. 151.
[6]  Frithjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, hlm. 26.
[7]  Mohammad Wahyuni Nafis dan Komaruddin Hidayat, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm 5.
[8]  [8]  Mohammad Wahyuni Nafis dan Komaruddin Hidayat, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, hlm. 07.
[9] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjaun Kritis, (Jakarta: Perspektif Kelompok Gema Insani, 2006), hlm. 69-70.
[10]  Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjaun Kritis, hlm. 71.
[11] John D. Caputo, Agama Cinta Agama Masa Depan, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 4. Liat juga, Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjaun Kritis, hlm. 72-73.
Rabu, 25 Mei 2011 0 komentar

Menguak Relasi Vertikal Dan Horizontal Dalam Agama Jepang

Oleh: Zulkarnaen Madani

Hidup tanpa agama, akan terasa kering dan hampa. Hal itu patut kiranya untuk menggambarkan kegelisahan yang dilahirkan ketika manusia tidak lagi merasakan kehadiran sang realitas mutlak atau Tuhan dalam pribadinya.
http://bangjeki.files.wordpress.com/2010/01/god-detail2.jpg
Pada dewasa ini, khususnya kehidupan masyarakat Barat, sering kali mengalami suatu persoalan religius atau kebathinan terkait dengan kegelisahan psikologis yang berdampak pada pencarian jati diri kembali untuk menemukan tempat yang teduh agar terlindung dari teriknya kehidupan yang serba materialistik.
Manusia pada hakekatnya tidak dapat lepas dari Tuhan atau agama. Agama sejatinya bagi mereka merupakan suplemen bagi jiwa-jiwa manusia. Adanya relasi yang kuat antara manusia dan agama itu tercermin dari kebutuhan manusia dalam menjalani aktifitas hidupnya.
Relasi yang dibangun oleh manusia, yakni relasi vertikal dan horizontal. Relasi vertikal merupakan hubungan yang dijalin manusia dengan Tuhan atau Dewa. Sedangkan, relasi horizontal lebih mengarah pada hubungan yang dibangun atas dasar sesama ciptaan, baik itu lingkungan maupun manusia. Kedua unsur tersebut merupakan wujud dari manifestasi Tuhan atau Dewa. Sehingga manusia dapat memahami Tuhan dengan cara memahami makna dibalik simbol-simbol alam semesta.
Konsep pantheisme atau keberadaan Tuhan atau Dewa yang hadir di setiap tempat, sebenarnya tidak jauh beda dengan konsep spirit atau kami dalam agama Jepang. Agama Jepang atau lebih dikenal dengan agama Shinto memiliki pola keberagamaan yang tebilang unique. Kami bagi umat Shinto merupakan spirit atau kekuatan realitas mutlak yang ada di mana-mana di setiap tempat, benda, dan kehidupan. Dan dipersonifikasikan oleh umat Shinto dengan unsur alam semesta.[1]
Spirit atau kami tersebut pada hakikatnya sama dengan Tuhan atau Dewa dalam agama-agama lain. Wujud dari kepatuhan dan ketulusan umat Shinto dalam menyembah kami yakni dengan merayakan berbagai upacara-upacara atau ritual (matsuri). Upacara-upacara tersebut merupakan bentuk dari penghormatan umat Shinto terhadap leluhur atau nenek moyang mereka yang dipercayai berasal dari keturunan Dewa.
Pembahasan tentang hubungan dewa, manusia, dan alam, serta agama dalam kehidupan keluarga terbilang cukup penting untuk dibahas lebih mendalam, dikarenakan hal itu terkait langsung dengan pola keberagamaan masyarakat Jepang sebelum datangnya perang dunia II. Masyarakat Jepang, sebelum perang dunia II merupakan masyarakat yang kesehariannya bercocok tanam atau agraris, dominasi agama yang begitu kuat dipeluk oleh masyarakat, serta agama Shinto menjadi agama Negara.[2]
Pasca perang dunia II, pola interaksi sosial masyarakat Jepang bisa terbilang berubah total. Hal ini tidak hanya terjadi pada sektor pemerintahan, sumber kebutuhan hidup, dan aspek religiusitas masyarakat. Pre-perang dunia II, Jepang merupakan Negara agraris, namun pasca perang berubah menjadi Negara industri. Begitu pula dengan sistem agama yang hanya diakui dan resmi menjadi agama Negara adalah Shinto beralih menjadi sistem pluralisme yang menganggap semua agama sama dan menganut kebebasan beragama.

A.      Pola Keberagamaan Masyarakat Jepang
Masyarakat Jepang mempunyai pandangan yang sangat sekuler dan tidak begitu peduli pada agama. Menurut statistik mengenai agama (tahun 1992) yang disusun oleh Departmen Pendidikan Jepang, pengikut agama Shinto; 106.643.616 orang, agama Budha 95.765.996 orang Kristen (termasuk Katolik) 1.486.588 orang, yang lainnya 10.833.994 orang. Hal ini terkait dengan pola kebaragamaan masyarakat Jepang pasca perang dunia II, yang berdampak terhadap cara pandang masyarakat Jepang yang dipengaruhi oleh sekulerisme, liberalisme, dan pluralisme.[3]
Statistik ini sering dipakai sebagai referensi oleh ilmuwan asing, angka tersebut sama sekali tidak bisa dipercayai. Sejumlahnya angka ini, menjadi kira-kira 2 kali dari penduduk Jepang, sekitar 120.000.000 jiwa. Angka ini berdasarkan laporan kepada Departmen Pendidikan dari sekte-sekte tersebut sendiri. Shinto menghitung semua penduduk sekitar jinja; (tempat ibadah Shinto) sebagai pengikutnya, agama Budha menghitung semua anggota keluarga yang diatur upacara oleh pendetanya sebagai pengikutnya. Jadi, satu orang terhitung sebagai pengikut agama Budha dan Shinto kedua-duanya.
Fenomena di atas secara implisit telah menyiratkan adanya konsep sinkretisme dalam keberagamaan masyarakat Jepang. Hal itu terbukti ketika ada beberapa ajaran yang disepakati dan dilakukan oleh penganut agama lain, seperti halnya yang sudah digambarkan di atas. Kecenderungan kearah singkretis dan asimilatif dilator belakangi oleh faktor lingkungan, baik budaya maupun spiritual. Adanya pengaruh tersebut tidak lantas membuang khazanah tradisi masyarakat Jepang, malah sebaliknya yakni memperkaya.[4]
Contoh kongkrit dari pola keberagamaan sikretis masyarakat Jepang yakni biasanya, orang Jepang melakukan upacara perkawinan dengan cara Shinto atau Kristen, sedangkan upacara kematian dengan cara Budha. Bagi kebanyakan orang Jepang, hal itu tidak dianggap aneh dan tetap berlangsung sesuai dengan kesepakatan.
Dalam undang-undang dasar Jepang, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan agama. Ketika berakhir perang dunia kedua, orang Jepang memetuskan bahwa negaranya harus berdasarkan atas pemisahan agama dari negara. Hal ini terjadi pada masa restorasi Meiji (1868-1912), Jepang mengadopsi sistem politik, hukum, dan militer dari Dunia Barat. Kabinet Jepang mengatur Dewan Penasihat Kaisar, menyusun Konstitusi Meiji, dan membentuk Parlemen Kekaisaran. Restorasi Meiji mengubah Kekaisaran Jepang menjadi negara industri modern dan sekaligus kekuatan militer dunia yang menimbulkan konflik militer ketika berusaha memperluas pengaruh teritorial di Asia. Setelah mengalahkan Cina dalam Perang Sino-Jepang dan Rusia dalam Perang Rusia-Jepang, Jepang menguasai Taiwan, separuh dari Sakhalin, dan Korea.[5]
Seperti hal-hal tersebut di atas, masyarakat Jepang sekarang menjadi sangat sekuler. Agama yang dominan, seperti Islam di Indonesia, tidak ada. Pada masa dulu, agama yang dominan itu agama Buddha (Tokugawa Bakufu). Kasus intervensi pemerintah terhadap negara dipertegas pada era Meiji dengan undang-undang pasal 28 tanggal 11 Februari 1889; "Japanese subjects shall, within limits not prejudicial to peace and order, and not antagonistic to their duties as subjects, enjoy freedom of religious belief".
Artinya: semua warga Negara Jepang, dalam batas-batas yang tidak membahayakan terhadap kedamaian dan ketertiban, dan tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban mereka sebagai warganegara, akan menikmati kemerdekaan beragama.[6]

B.       Relasi Inten antara Dewa, Manusia dan Alam
Hubungan antara manusia, Dewa dan alam merupakan relasi yang harus dibina lebih mendalam lagi. Karena ketiga unsur tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain dan ketika salah satunya tidak dapat dioptimalkan, maka yang terjadi adalah suatu hubungan yang bisa dibilang disharmonis.
Masyarakat Jepang, yang pada umumnya memeluk agama Shinto yang pure merupakan agama asli Jepang, tidak menutup mata untuk berhubungan dengan agama lain, seperti Buddha, Kong Hu Cu, atau Kristen. Pola interaksi sosial yang dibangun oleh masyarakat Jepang, nantinya juga akan membentuk relasi vertikal, selain horizontal, yang harmonis dengan berasaskan keharmonisan relasi horizontal.
a.      Ajaran agama Shinto tentang Dewa
Dewa dalam agama Shinto lebih dikenal dengan sebutan kami atau spirit. Penyebutan kami itu sulit sebenarnya untuk didefinisikan, terkait dengan maknanya yang begitu luas. Umat Shinto mendefinisikan hal itu sesuai dengan tujuan tertentu. Ketika lebih tertuju pada sifat-sifat lebih, unggul, atau kuasa yang dimiliki kami atas yang lain, maka istilah tersebut dapat didefinisikan sesuatu yang lebih di atas yang unggul. Namun jika dimaksudkan untuk menyebut suatu kekuatan spiritual, maka kami dapat dikatakan sebagai Dewa atau Tuhan, layaknya agama-agama lain.[7]
Menurut masyarakat Jepang kuno, istilah kami ditujukan untuk menyebut suatu kekuatan atau kekuasaan tertentu yang terdapat dalam berbagai hal atau benda, tanpa membedakan apakah objek tersebut hidup atau mati. Ada unsur kami dalam segala hal atau benda, telah menguatkan bahwa konsep kepercayaan yang diusung oleh agama Shinto lebih mengarah poleteistis murni.[8]
Ada seorang sarjana sekaligus perbaharu agama Sinto era modern, Norinaga, mencoba untuk menggambarkan tentang dewa-dewa dalam agama Shinto. Norinaga menyatakan bahwa ada tiga hal yang terkandung dalam konsepsi kedewaan agama Shinto, yakni dewa-dewa agama Shinto dipersonifikasikan sebagai gejala-gejala alam yang diyakini dapat mendengar, melihat, merasakan, dan sebagainya sehingga harus disembah dan dipuja. Kemudian, Dewa-dewa tersebut bisa berwujud manusia, dan selanjutnya Dewa-dewa tersebut bisa menjadi spirit yang beremanasi di tempat-tempat suci dan mempengaruhi kehidupan manusia.
b.      Ajaran agama Shinto tentang Manusia
Ketika melirik dan mengamati secara seksama tentang konsepsi kedewaan dalam agama Shinto, terutama poin kedua, yakni dewa-dewa bisa berwujud manusia, dapat memberi cerminan bahwa alam semesta beserta isinya merupakan wadah manifestasi Tuhan atau para Dewa.
Hubungan yang terjalin antara manusia dengan Dewa, amat jelas digambar oleh masyarat Jepang yang mengakui bahwa mereka merupakan titisan para Dewa. Dewa yang mereka sebut-sebut sebagai leluhur mereka adalah amaterasu omi kami (Dewi Matahari atau Dewa Agung Langit Bersinar).
Adanya konsepsi relasional antara manusia dengan Dewa dalam agama Shinto, itu dilandaskan pada mitologi Jepang yang menyatakan bahwa kaisar-kaisar Jepang merupakan titisan atau anak dari Dewi Matahari atau Amaterasu Omi Kami dan cerita tentang anak keturunan Dewi tersebut memerintah dan mempersatukan negeri Jepang.[9]
 Agama Shinto mengajarkan kepercayaan akan adanya garis kesinambungan antara manusia dengan kami. Hal ini kemudian distilahkan oya-ko. Oya-ko merupakan relasi manusia dengan kami yang dianalogikan layaknya hubungan keluarga antara seorang nenek moyang dengan keturunannya atau seorang ibu dengan anak-anaknya. Dan penekanan yang tak kalah urgennya lagi yakni manusia sebagai wadah dari kami, yang diistilahkan Hito.[10] Manusia sebagai manifestasi Tuhan atau Dewa, telah mengukuhkan betapa eratnya hubungan antara manusia dengan dewa atau kami.
Sejatinya, manusia adalah putra kami. Makna yang pertama dari pernyataan tersebut adalah bahwa hidup manusia berasal dari kami, maka dari itu bersifat suci. Makna yang kedua adalah segala aktifitas hidup sehari-hari merupakan anugerah atau pemberian dari kami. Sehingga menurut agama Shinto, kehidupan manusia di muka bumi, selayaknya harus dihargai dan dihormati, karena mereka bagian dari kami.   
c.       Ajaran agama Shinto tentang Alam
Dewi matahari agama Shinto disebut juga Tensho Daijin yang juga dikenal dengan Amaterasu Omikami. Amaterasu adalah Ratu dari seluruh “Kami”, ia adalah anak dari Izanagi dan Izanami (Dewa Pencipta dari mitologi Jepang). Keluarga Kekaisaran Jepang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan langsung dari garis keturunan Dewi Amaterasu Omi Kami. Oleh karena itu maka para Kaisar Jepang dianggap sebagai keturunan para dewa.
Inti pokok ajaran agama Shinto tentang alam, itu termuat dalam mitologi Jepang. Berangkat dari mitologi tersebutlah tercipta berbagai dewa-dewa yang dipersonifikasikan dengan hal-hal yang bersifat natural. Seperti halnya dewa tanah (Ta na Kami), dewa gunung (Yama no Kami), dewa Laut (Umi no Kami), dewa air (Suijin), dewa api (Hino Kami), dewa pohon (Kukunochi), dan dewa manusia (adanya unsur jiwa/mi-tama yang dikonotasikan sebagai kami).
            Berangkat dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kedewaan dalam agama Shinto merupakan paham politeistis murni yang dilandaskan pada fenomena-fenomena alam. Oleh karena itu, perang alam amatlah penting bagi kesejah teraan Dewa, manusia, dan alam itu sendiri. Karena ketiga unsur tersebut sama-sama memiliki unsur kami.

C.      Agama dalam Lingkungan Keluarga
Peran keluarga dalam pembentukan karakter hidup manusia sangatlah besar.  Karena lingkungan keluarga merupakan pusat dari setiap pelajaran yang sebenarnya dari pelajaran yang lain, seperti di sekolah, kampus, maupun lainnya. Dengan lingkungan keluarga, anak-anak sedini mungkin telah diajari agama, sopan santu, dan tradisi. Dengan lingkuang keluarga pula, pembentukan karakter hidup terbilang dominan dalam menentukan hidup kedepan.
            Dalam agama Shinto, kehidupan beragama dalam lingkungan keluarga itu dikenal dengan istilah Koshitsu Shinto. Koshitsu Shinto ini pada awalnya merupakan kepercayaan atau peribadatan agama Shinto yang dilakukan dalam lingkungan keluarga kekaisaran Jepang, sehingga sering disebut pula dengan agama Shinto lingkungan keluarga kaisar.
            Tempat suci lingkungan keluarga kaisar, yakni:
·         Kashiko-dokoro; dipergunakan untuk memuja Dewi Matahari
·         Korei-den; diperuntukkan untuk memuja kaisar-kaisar Jepang yang telah meninggal dunia.
·         Shin-den; digunakan untuk memuja Dewa-dewa yang jumlahnya tak terhingga.
·         Shina-den; tempat suci yang tidak memiliki objek pemujaan tertentu.
Kehidupan lingkungan keluarga memiliki peranan penting bagi umat agam Shinto dalam melangsungkan beberapa ibadahnya atau ritualnya. Hal ini tercermin dari beberapa poin terkait dengan fungsi dari lingkungan keluarga, antara lain:
·         Agama memiliki fungsi penting dalam kehidupan keluarga, baik bagi anggota yang masih hidup maupun telah mati.
·         Agama Jepang sering menyebut sebagai pemujaan nenek moyang (ancestor worship).
·         Setiap keluarga mempunyai tempat suci kecil, untuk tempat ibadah sehari-hari yang dikenal kamidana.
·         Ada pula sebuah altar Buddhis, disebut butsudan tempat memberikan sesaji harian untuk leluhur.[11]
Berangkat dari deskripsi di atas terkait dengan ajaran agama Shinto dalam sebuah lingkungan keluarga, ternyata menjadi suatu hal yang inti karena memilliki multi fungsi. Hal ini juga tidak jauh beda dengan agama-agama lain, seperti halnya Yahudi yang menjadi lingkungan keluarga atau rumah sebagai tempat ibadah suci kedua setelah sinago.

D.      Titik Ulasan
Dari beberapa urain sebelumnya, telah memberikan sebuah garis inti untuk dijadikan benang merah dari penghujung pembahasan ini secara kritis-komprehensif. Semua itu nantinya dijabarkan dalam beberapa poin yang terpatri dari pokok-pokok persoalan yang dibahas. Maka dari itu, kesimpulan atau titik ulasan yang didapat dari pembahasan ini antara lain:
Pertama, masyarakat Jepang mempunyai pandangan yang sangat sekuler dan tidak begitu peduli pada agama. Hal ini terjadi pasca perang dunia ke II. Namun sebelum hal itu, masyarat Jepang amat menghargai dan menghormati neneng moyang mereka dengan cara mengadakan upacara atau ritual-ritual tertentu. Selain hal itu, pola keberagamaan masyarakat Jepang terbilang unik dengan pola singkretisme yang berjalan harmonis serta asimilatif.
Kedua, agama Jepang tidak menekankan adanya satu Tuhan atau Dewa yang berkuasa dan juga tidak membedakan secara tajam para Dewa dengan manusia. Karena pada hakikatnya manusia merukan putra kami dan tempat bersemayam para kami, atau disebut sebagai Hito. Selain hal itu, hubungan harmonis antara manusia, Dewa, dan alam merupakan ajaran asasi dari agama Jepang atau Shinto.
Ketiga, agama dalam lingkungan keluarga amat berpengaruh terhadap pola aktifitas masyarakat Jepang. Karena berangkat dari lingkungan keluarga, masyarakat atau umat agama Shinto melaksankan ibadah-ibadah atau ritual-ritual, seperti penghormatan terhadap leluhur. Nuansa religiusitas dalam lingkungan keluarga ini dikenal dengan istilah koshitsu Shinto.









[1] Djam'annuri, Agama Jepang, (Yogyakarta: PT Bagus Arafah, 1981), hlm. 10
[2] Djam'annuri, Syafaatun Al mirzanah, dan Ustadi Hamzah, Agama Jepang, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 02.
[3] Shizawa Takeshi, Ringkasan Sejarah Agama Baru Jepang: Dari Kurozumi Kyo^, Konko^ Kyo^, Tenri Kyo^ sampai Aum Shinri Kyo^, Ko^fuku no kagaku, tulisan ini berbentuk makalah yang akan di-seminar-kan di kantor Alocita di Yogyakarta pada tanggal, 15 Feberuari 1997, dalam situs: http://www.02.246.ne.jp/~semar/agmbaru.html, diambil tgl 20 mei 2011.
[4] Sejarah agama-agama di Jepang bisa dibilang amat memberi contoh yang baik terkait dengan perkembangan ide-ide agama dengan mengintegrasikan tanpa adanya pertentangan dan kekerasa. Lihat,H. Byron Earhart, Japanese Religion Unity and Diversity, ed. Ke-3 (Belmont: Wasworth Publishing Company, 1982), hlm. 12, dalam Djam'annuri, Syafaatun Al mirzanah, dan Ustadi Hamzah, Agama Jepang, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 04.
[5] Jesse Arnold, Japan: The Making of a World Superpower Imperial Japan, vt.edu/users/jearnol2. Tulisan ini awalnya diakses pada tanggal 27 Maret 2007. Dalam situs: http://id.wikipedia.org/wiki/Jepang, diakses pada tanggal 20 Mei 2011.
[6] Djam'annuri, Agama Jepang, hlm. 44.
[7] William K. Bunce, Religion In Japan, cet II (Tokyo: Charles E. Tuttle Company, 1956), hlm. 100, dalam Djam'annuri, Syafaatun Al mirzanah, dan Ustadi Hamzah, Agama Jepang, hlm. 75-76.
[8] Hal itu diperkuat dengan penyebutan banyak nama dewa-dewa terhadap kami yang begitu beragam, sehingga melahirkan sebuah terminologi " yao yarozu no kami" yang berarti delapan miliun Dewa. Lihat Djam'annuri, Syafaatun Al mirzanah, dan Ustadi Hamzah, Agama Jepang, hlm. 76, dan perbandingkan dengan buku tunggal yang ditulis oleh Djam'annuri, Agama Jepang, hlm. 18. 
[9] Djam'annuri, Syafaatun Al mirzanah, dan Ustadi Hamzah, Agama Jepang, hlm.83.
[10] Djam'annuri dan Lathifatul Izzah, Agama Jepang (Japanese Religion), tulisan ini merupakan Hand Out materi kuliah Agama Jepang, yang dilaksanakan setiap hari senin di Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan kalijga Yogyakarta, 2010.
[11]  Djam'annuri, Syafaatun Al mirzanah, dan Ustadi Hamzah, Agama Jepang, hlm.101-104, liat juga Djam'annuri, Agama Jepang, hlm. 73-75, serta perbandingkan dengan Hand Out materi kuliah Agama Jepang yang diampu oleh Djam'annuri dan Lathifatul Izzah, Agama Jepang (Japanese Religion), tulisan ini merupakan Hand Out materi kuliah Agama Jepang, yang dilaksanakan setiap hari senin di Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan kalijga Yogyakarta, 2010.
Kamis, 28 April 2011 0 komentar

Jadikan Dialog Sebagai Sumbu Perdamaian

Oleh: Zulkarnaen Madani
Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna di antara ciptaan-Nya yang lain. Manusia diberi akal oleh Tuhan agar mereka bisa berpikir, sehingga dapat membedakan mana yang tergolong baik dan buruk. Ketika manusia sudah tidak lagi menggunakan akal sehatnya, maka manusia tidak jauh beda dengan binatang.
Segala tindak tanduk manusia di muka bumi ini memiliki aturan-aturan dan norma-norma yang harus dipatuhi. Baik itu terkait dengan relasi antara manusia dengan sang pencipta, manusia dengan manusia, maupun manusia dengan alam. Hubungan vertikal antara manusia dengan sang pencipta terbilang memiliki keragaman cara antara manusia yang satu dan lainnya. Hal ini nantinya memiliki singgungan dengan pola horizontal relasi yang dibangun oleh manusia dengan sesama manusia.  
Peristiwa yang terjadi beberapa akhir ini terkait dengan persoalan-persoalan berbasis agama, seperti halnya peledakan bom di Masjid Al-Zikra, Mapolres Kota Cirebon; penemuan bom di dalam gorong-gorong pipa gas di sekitar gereja di Serpong, Tangerang Selatan; bentrok antarwarga dengan petugas keamanan di Sumatra Selatan; hingga bentrokan warga dengan oknum TNI di Kebumen, Jawa Tengah, (Republika, 25/4) telah memberi gambaran bagaimana keresahan yang dirasakan oleh warga masyarakat akan benih-benih retaknya nuansa keharmonisan di negara Indonesia ini.
Sebenarnya, konstitusi Negara telah nyata-nyata menjamin kebebasan dan keamanan warga negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut keyakinan mereka masing-masing. Begitupun konsep pancasila dengan kebhinekaannya telah menggambarkan bagaimana pola interaksi sosial yang harus dibangun oleh masyarakat Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh nilai-nilai kebebasan beragama yang terkandung dalam al Quran.
Dalam surat al Baqarah ayat 256 dengan tegas menyebut “Tidak ada paksaan dalam hal agama. Jelas bedanya jalan yang benar daripada yang sesat. Barangsiapa yang ingkar kepada setan dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kuat dengan genggaman yang tak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi mahatahu.”

Memutus Lingkar Kekerasan
Kekerasan jangan dilawan dengan sikap keras lagi berhati kasar, tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Mereka yang melakukan aksi kekerasan dengan membabi buta, tanpa memandang bulu, pada dasarnya tidak tahu menahu apa yang dilakukannya. Hanya saja mereka sedang terjebak pada jurang ego yang dilumuri oleh nuasa pragmatisme, fanatisme, dan ekskulivisme.
Gejala kekerasan “agama” pada hakikatnya tidak serta merta murni ditimbulkan oleh agama, namun bisa saja dimotori oleh gejala sosial-politik. Walaupun tidak semuanya bebasis pada faktor sosial-politik tetapi juga pada interpretasi mereka terhadap agama yang bisa dibilang dangkal atau tekstual-literalis. Posisi pemerintah dalam menyikapi hal ini harus berdiri di atas semua golongan. Independensi pemerintah sebagai pemersatu kedaulatan bangsa, jangan sampai tercoreng oleh kepentingan oknum-oknum yang tak bertanggung jawab.
Ketika politik sudah berbalik menyetir agama, maka yang terjadi adalah penyalahgunaan fungsi agama. Peran yang terbalik itu dipicu oleh kedangkalan mereka dalam memahami dan menghayati agama yang diyakini dan dipercayai. Sehingga mereka mudah dihasut dan dijadikan alat untuk membuat keresahan pada warga masyarakat, agar melahirkan sekat-sekat dan kecemburuan sosial antar warga.
Solusi yang solutif dalam mengatasi kedangkalan agama menurut almarhum Abdurahman Wahid (Gus Dur) dalam Passing Over; Melintasi Batas Agama (1998) yakni ada dua: pertama, harus menanamkan keyakinan yang kuat terhadap warga masyarakat agar tidak mudah dihasut. Kedua, mendalami serta menghayati pengetahuan agama kita kembali, dan menyadarkan warga bahwa hubungan antar agama itu dibangun atas dasar saling memahami dan pengertian.

Urgensi Dialog Agama
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa negara Indonesia merupakan negara yang ber-Ketuhanan tetapi bukan negara agama. Kehidupan beragama di Indonesia amat plural. Pluralitas tersebut merupakan anugerah yang patut dipertahankan dan dijaga keharmonisaanya oleh kita bersama.
Salah satu mantan menteri agama republik Indonesia dan sekaligus Bapak Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, A. Mukti Ali, dengan perjuangannya dalam menegakkan pluralitas di Indonesia telah melahirkan sebuah konsep untuk membangun keharmonisan hubangan antar agama. Agree in disagreement atau setuju dalam ketidaksetujuan, merupakan konsep yang beliau usung untuk melanggengkan pluralitas di Indonesia dengan berasaskan kesadaran akan pentingnya kehidupan beragama yang harmonis, serta dilandasi oleh teks-teks fundamental agama.
Konsep agree in disagreement bisa menjadi patokan bagi pemerintah dalam menyikapi pluralitas di Indonesia. Penekanan yang terkandung dalam konsep tersebut yakni bagaimana menjaga kerukunan umat beragama dengan cara berdialog secara produktif-konstruktif.
Hadirnya dialog sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman dan saling pengertian antar umat beragama, serta menangkis paradigma eksklusif-konservatif dalam membangun hubungan keagamaan yang sehat. Spirit yang terkandung dalam dialog agama adalah mencari nilai-nilai universal untuk dijadikan patokan bersama dan solusi bersama agar tidak melahirkan ketimpangan, kekerasan, dan kecemburuan sosial bagi salah satu pihak.
Pemerintah amat berperan penting dalam merealisasikan dialog agama tersebut sebagai penengah dan fasilitator demi terciptanya kerukunan dan ketentraman di masyarakat. Jangan biarkan bangsa yang plural ini dicap sebagai “negeri ide”. Walaupun konsep dialog agama itu baik dalam menyikapi persoalan ini, bukan berarti negara boleh membiarkan para pelaku kekerasan berkeliaran bebas tanpa ada hukum yang mengganjarnya. Hukum tetap harus dijalankan, sebagai bentuk penerapan terhadap konstitusi negara yang menjamin hak kebebasan beragama serta menjaga kewibaan dan stabilitas bangsa.
 
;