Rabu, 25 Mei 2011

Menguak Relasi Vertikal Dan Horizontal Dalam Agama Jepang

Oleh: Zulkarnaen Madani

Hidup tanpa agama, akan terasa kering dan hampa. Hal itu patut kiranya untuk menggambarkan kegelisahan yang dilahirkan ketika manusia tidak lagi merasakan kehadiran sang realitas mutlak atau Tuhan dalam pribadinya.
http://bangjeki.files.wordpress.com/2010/01/god-detail2.jpg
Pada dewasa ini, khususnya kehidupan masyarakat Barat, sering kali mengalami suatu persoalan religius atau kebathinan terkait dengan kegelisahan psikologis yang berdampak pada pencarian jati diri kembali untuk menemukan tempat yang teduh agar terlindung dari teriknya kehidupan yang serba materialistik.
Manusia pada hakekatnya tidak dapat lepas dari Tuhan atau agama. Agama sejatinya bagi mereka merupakan suplemen bagi jiwa-jiwa manusia. Adanya relasi yang kuat antara manusia dan agama itu tercermin dari kebutuhan manusia dalam menjalani aktifitas hidupnya.
Relasi yang dibangun oleh manusia, yakni relasi vertikal dan horizontal. Relasi vertikal merupakan hubungan yang dijalin manusia dengan Tuhan atau Dewa. Sedangkan, relasi horizontal lebih mengarah pada hubungan yang dibangun atas dasar sesama ciptaan, baik itu lingkungan maupun manusia. Kedua unsur tersebut merupakan wujud dari manifestasi Tuhan atau Dewa. Sehingga manusia dapat memahami Tuhan dengan cara memahami makna dibalik simbol-simbol alam semesta.
Konsep pantheisme atau keberadaan Tuhan atau Dewa yang hadir di setiap tempat, sebenarnya tidak jauh beda dengan konsep spirit atau kami dalam agama Jepang. Agama Jepang atau lebih dikenal dengan agama Shinto memiliki pola keberagamaan yang tebilang unique. Kami bagi umat Shinto merupakan spirit atau kekuatan realitas mutlak yang ada di mana-mana di setiap tempat, benda, dan kehidupan. Dan dipersonifikasikan oleh umat Shinto dengan unsur alam semesta.[1]
Spirit atau kami tersebut pada hakikatnya sama dengan Tuhan atau Dewa dalam agama-agama lain. Wujud dari kepatuhan dan ketulusan umat Shinto dalam menyembah kami yakni dengan merayakan berbagai upacara-upacara atau ritual (matsuri). Upacara-upacara tersebut merupakan bentuk dari penghormatan umat Shinto terhadap leluhur atau nenek moyang mereka yang dipercayai berasal dari keturunan Dewa.
Pembahasan tentang hubungan dewa, manusia, dan alam, serta agama dalam kehidupan keluarga terbilang cukup penting untuk dibahas lebih mendalam, dikarenakan hal itu terkait langsung dengan pola keberagamaan masyarakat Jepang sebelum datangnya perang dunia II. Masyarakat Jepang, sebelum perang dunia II merupakan masyarakat yang kesehariannya bercocok tanam atau agraris, dominasi agama yang begitu kuat dipeluk oleh masyarakat, serta agama Shinto menjadi agama Negara.[2]
Pasca perang dunia II, pola interaksi sosial masyarakat Jepang bisa terbilang berubah total. Hal ini tidak hanya terjadi pada sektor pemerintahan, sumber kebutuhan hidup, dan aspek religiusitas masyarakat. Pre-perang dunia II, Jepang merupakan Negara agraris, namun pasca perang berubah menjadi Negara industri. Begitu pula dengan sistem agama yang hanya diakui dan resmi menjadi agama Negara adalah Shinto beralih menjadi sistem pluralisme yang menganggap semua agama sama dan menganut kebebasan beragama.

A.      Pola Keberagamaan Masyarakat Jepang
Masyarakat Jepang mempunyai pandangan yang sangat sekuler dan tidak begitu peduli pada agama. Menurut statistik mengenai agama (tahun 1992) yang disusun oleh Departmen Pendidikan Jepang, pengikut agama Shinto; 106.643.616 orang, agama Budha 95.765.996 orang Kristen (termasuk Katolik) 1.486.588 orang, yang lainnya 10.833.994 orang. Hal ini terkait dengan pola kebaragamaan masyarakat Jepang pasca perang dunia II, yang berdampak terhadap cara pandang masyarakat Jepang yang dipengaruhi oleh sekulerisme, liberalisme, dan pluralisme.[3]
Statistik ini sering dipakai sebagai referensi oleh ilmuwan asing, angka tersebut sama sekali tidak bisa dipercayai. Sejumlahnya angka ini, menjadi kira-kira 2 kali dari penduduk Jepang, sekitar 120.000.000 jiwa. Angka ini berdasarkan laporan kepada Departmen Pendidikan dari sekte-sekte tersebut sendiri. Shinto menghitung semua penduduk sekitar jinja; (tempat ibadah Shinto) sebagai pengikutnya, agama Budha menghitung semua anggota keluarga yang diatur upacara oleh pendetanya sebagai pengikutnya. Jadi, satu orang terhitung sebagai pengikut agama Budha dan Shinto kedua-duanya.
Fenomena di atas secara implisit telah menyiratkan adanya konsep sinkretisme dalam keberagamaan masyarakat Jepang. Hal itu terbukti ketika ada beberapa ajaran yang disepakati dan dilakukan oleh penganut agama lain, seperti halnya yang sudah digambarkan di atas. Kecenderungan kearah singkretis dan asimilatif dilator belakangi oleh faktor lingkungan, baik budaya maupun spiritual. Adanya pengaruh tersebut tidak lantas membuang khazanah tradisi masyarakat Jepang, malah sebaliknya yakni memperkaya.[4]
Contoh kongkrit dari pola keberagamaan sikretis masyarakat Jepang yakni biasanya, orang Jepang melakukan upacara perkawinan dengan cara Shinto atau Kristen, sedangkan upacara kematian dengan cara Budha. Bagi kebanyakan orang Jepang, hal itu tidak dianggap aneh dan tetap berlangsung sesuai dengan kesepakatan.
Dalam undang-undang dasar Jepang, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan agama. Ketika berakhir perang dunia kedua, orang Jepang memetuskan bahwa negaranya harus berdasarkan atas pemisahan agama dari negara. Hal ini terjadi pada masa restorasi Meiji (1868-1912), Jepang mengadopsi sistem politik, hukum, dan militer dari Dunia Barat. Kabinet Jepang mengatur Dewan Penasihat Kaisar, menyusun Konstitusi Meiji, dan membentuk Parlemen Kekaisaran. Restorasi Meiji mengubah Kekaisaran Jepang menjadi negara industri modern dan sekaligus kekuatan militer dunia yang menimbulkan konflik militer ketika berusaha memperluas pengaruh teritorial di Asia. Setelah mengalahkan Cina dalam Perang Sino-Jepang dan Rusia dalam Perang Rusia-Jepang, Jepang menguasai Taiwan, separuh dari Sakhalin, dan Korea.[5]
Seperti hal-hal tersebut di atas, masyarakat Jepang sekarang menjadi sangat sekuler. Agama yang dominan, seperti Islam di Indonesia, tidak ada. Pada masa dulu, agama yang dominan itu agama Buddha (Tokugawa Bakufu). Kasus intervensi pemerintah terhadap negara dipertegas pada era Meiji dengan undang-undang pasal 28 tanggal 11 Februari 1889; "Japanese subjects shall, within limits not prejudicial to peace and order, and not antagonistic to their duties as subjects, enjoy freedom of religious belief".
Artinya: semua warga Negara Jepang, dalam batas-batas yang tidak membahayakan terhadap kedamaian dan ketertiban, dan tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban mereka sebagai warganegara, akan menikmati kemerdekaan beragama.[6]

B.       Relasi Inten antara Dewa, Manusia dan Alam
Hubungan antara manusia, Dewa dan alam merupakan relasi yang harus dibina lebih mendalam lagi. Karena ketiga unsur tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain dan ketika salah satunya tidak dapat dioptimalkan, maka yang terjadi adalah suatu hubungan yang bisa dibilang disharmonis.
Masyarakat Jepang, yang pada umumnya memeluk agama Shinto yang pure merupakan agama asli Jepang, tidak menutup mata untuk berhubungan dengan agama lain, seperti Buddha, Kong Hu Cu, atau Kristen. Pola interaksi sosial yang dibangun oleh masyarakat Jepang, nantinya juga akan membentuk relasi vertikal, selain horizontal, yang harmonis dengan berasaskan keharmonisan relasi horizontal.
a.      Ajaran agama Shinto tentang Dewa
Dewa dalam agama Shinto lebih dikenal dengan sebutan kami atau spirit. Penyebutan kami itu sulit sebenarnya untuk didefinisikan, terkait dengan maknanya yang begitu luas. Umat Shinto mendefinisikan hal itu sesuai dengan tujuan tertentu. Ketika lebih tertuju pada sifat-sifat lebih, unggul, atau kuasa yang dimiliki kami atas yang lain, maka istilah tersebut dapat didefinisikan sesuatu yang lebih di atas yang unggul. Namun jika dimaksudkan untuk menyebut suatu kekuatan spiritual, maka kami dapat dikatakan sebagai Dewa atau Tuhan, layaknya agama-agama lain.[7]
Menurut masyarakat Jepang kuno, istilah kami ditujukan untuk menyebut suatu kekuatan atau kekuasaan tertentu yang terdapat dalam berbagai hal atau benda, tanpa membedakan apakah objek tersebut hidup atau mati. Ada unsur kami dalam segala hal atau benda, telah menguatkan bahwa konsep kepercayaan yang diusung oleh agama Shinto lebih mengarah poleteistis murni.[8]
Ada seorang sarjana sekaligus perbaharu agama Sinto era modern, Norinaga, mencoba untuk menggambarkan tentang dewa-dewa dalam agama Shinto. Norinaga menyatakan bahwa ada tiga hal yang terkandung dalam konsepsi kedewaan agama Shinto, yakni dewa-dewa agama Shinto dipersonifikasikan sebagai gejala-gejala alam yang diyakini dapat mendengar, melihat, merasakan, dan sebagainya sehingga harus disembah dan dipuja. Kemudian, Dewa-dewa tersebut bisa berwujud manusia, dan selanjutnya Dewa-dewa tersebut bisa menjadi spirit yang beremanasi di tempat-tempat suci dan mempengaruhi kehidupan manusia.
b.      Ajaran agama Shinto tentang Manusia
Ketika melirik dan mengamati secara seksama tentang konsepsi kedewaan dalam agama Shinto, terutama poin kedua, yakni dewa-dewa bisa berwujud manusia, dapat memberi cerminan bahwa alam semesta beserta isinya merupakan wadah manifestasi Tuhan atau para Dewa.
Hubungan yang terjalin antara manusia dengan Dewa, amat jelas digambar oleh masyarat Jepang yang mengakui bahwa mereka merupakan titisan para Dewa. Dewa yang mereka sebut-sebut sebagai leluhur mereka adalah amaterasu omi kami (Dewi Matahari atau Dewa Agung Langit Bersinar).
Adanya konsepsi relasional antara manusia dengan Dewa dalam agama Shinto, itu dilandaskan pada mitologi Jepang yang menyatakan bahwa kaisar-kaisar Jepang merupakan titisan atau anak dari Dewi Matahari atau Amaterasu Omi Kami dan cerita tentang anak keturunan Dewi tersebut memerintah dan mempersatukan negeri Jepang.[9]
 Agama Shinto mengajarkan kepercayaan akan adanya garis kesinambungan antara manusia dengan kami. Hal ini kemudian distilahkan oya-ko. Oya-ko merupakan relasi manusia dengan kami yang dianalogikan layaknya hubungan keluarga antara seorang nenek moyang dengan keturunannya atau seorang ibu dengan anak-anaknya. Dan penekanan yang tak kalah urgennya lagi yakni manusia sebagai wadah dari kami, yang diistilahkan Hito.[10] Manusia sebagai manifestasi Tuhan atau Dewa, telah mengukuhkan betapa eratnya hubungan antara manusia dengan dewa atau kami.
Sejatinya, manusia adalah putra kami. Makna yang pertama dari pernyataan tersebut adalah bahwa hidup manusia berasal dari kami, maka dari itu bersifat suci. Makna yang kedua adalah segala aktifitas hidup sehari-hari merupakan anugerah atau pemberian dari kami. Sehingga menurut agama Shinto, kehidupan manusia di muka bumi, selayaknya harus dihargai dan dihormati, karena mereka bagian dari kami.   
c.       Ajaran agama Shinto tentang Alam
Dewi matahari agama Shinto disebut juga Tensho Daijin yang juga dikenal dengan Amaterasu Omikami. Amaterasu adalah Ratu dari seluruh “Kami”, ia adalah anak dari Izanagi dan Izanami (Dewa Pencipta dari mitologi Jepang). Keluarga Kekaisaran Jepang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan langsung dari garis keturunan Dewi Amaterasu Omi Kami. Oleh karena itu maka para Kaisar Jepang dianggap sebagai keturunan para dewa.
Inti pokok ajaran agama Shinto tentang alam, itu termuat dalam mitologi Jepang. Berangkat dari mitologi tersebutlah tercipta berbagai dewa-dewa yang dipersonifikasikan dengan hal-hal yang bersifat natural. Seperti halnya dewa tanah (Ta na Kami), dewa gunung (Yama no Kami), dewa Laut (Umi no Kami), dewa air (Suijin), dewa api (Hino Kami), dewa pohon (Kukunochi), dan dewa manusia (adanya unsur jiwa/mi-tama yang dikonotasikan sebagai kami).
            Berangkat dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kedewaan dalam agama Shinto merupakan paham politeistis murni yang dilandaskan pada fenomena-fenomena alam. Oleh karena itu, perang alam amatlah penting bagi kesejah teraan Dewa, manusia, dan alam itu sendiri. Karena ketiga unsur tersebut sama-sama memiliki unsur kami.

C.      Agama dalam Lingkungan Keluarga
Peran keluarga dalam pembentukan karakter hidup manusia sangatlah besar.  Karena lingkungan keluarga merupakan pusat dari setiap pelajaran yang sebenarnya dari pelajaran yang lain, seperti di sekolah, kampus, maupun lainnya. Dengan lingkungan keluarga, anak-anak sedini mungkin telah diajari agama, sopan santu, dan tradisi. Dengan lingkuang keluarga pula, pembentukan karakter hidup terbilang dominan dalam menentukan hidup kedepan.
            Dalam agama Shinto, kehidupan beragama dalam lingkungan keluarga itu dikenal dengan istilah Koshitsu Shinto. Koshitsu Shinto ini pada awalnya merupakan kepercayaan atau peribadatan agama Shinto yang dilakukan dalam lingkungan keluarga kekaisaran Jepang, sehingga sering disebut pula dengan agama Shinto lingkungan keluarga kaisar.
            Tempat suci lingkungan keluarga kaisar, yakni:
·         Kashiko-dokoro; dipergunakan untuk memuja Dewi Matahari
·         Korei-den; diperuntukkan untuk memuja kaisar-kaisar Jepang yang telah meninggal dunia.
·         Shin-den; digunakan untuk memuja Dewa-dewa yang jumlahnya tak terhingga.
·         Shina-den; tempat suci yang tidak memiliki objek pemujaan tertentu.
Kehidupan lingkungan keluarga memiliki peranan penting bagi umat agam Shinto dalam melangsungkan beberapa ibadahnya atau ritualnya. Hal ini tercermin dari beberapa poin terkait dengan fungsi dari lingkungan keluarga, antara lain:
·         Agama memiliki fungsi penting dalam kehidupan keluarga, baik bagi anggota yang masih hidup maupun telah mati.
·         Agama Jepang sering menyebut sebagai pemujaan nenek moyang (ancestor worship).
·         Setiap keluarga mempunyai tempat suci kecil, untuk tempat ibadah sehari-hari yang dikenal kamidana.
·         Ada pula sebuah altar Buddhis, disebut butsudan tempat memberikan sesaji harian untuk leluhur.[11]
Berangkat dari deskripsi di atas terkait dengan ajaran agama Shinto dalam sebuah lingkungan keluarga, ternyata menjadi suatu hal yang inti karena memilliki multi fungsi. Hal ini juga tidak jauh beda dengan agama-agama lain, seperti halnya Yahudi yang menjadi lingkungan keluarga atau rumah sebagai tempat ibadah suci kedua setelah sinago.

D.      Titik Ulasan
Dari beberapa urain sebelumnya, telah memberikan sebuah garis inti untuk dijadikan benang merah dari penghujung pembahasan ini secara kritis-komprehensif. Semua itu nantinya dijabarkan dalam beberapa poin yang terpatri dari pokok-pokok persoalan yang dibahas. Maka dari itu, kesimpulan atau titik ulasan yang didapat dari pembahasan ini antara lain:
Pertama, masyarakat Jepang mempunyai pandangan yang sangat sekuler dan tidak begitu peduli pada agama. Hal ini terjadi pasca perang dunia ke II. Namun sebelum hal itu, masyarat Jepang amat menghargai dan menghormati neneng moyang mereka dengan cara mengadakan upacara atau ritual-ritual tertentu. Selain hal itu, pola keberagamaan masyarakat Jepang terbilang unik dengan pola singkretisme yang berjalan harmonis serta asimilatif.
Kedua, agama Jepang tidak menekankan adanya satu Tuhan atau Dewa yang berkuasa dan juga tidak membedakan secara tajam para Dewa dengan manusia. Karena pada hakikatnya manusia merukan putra kami dan tempat bersemayam para kami, atau disebut sebagai Hito. Selain hal itu, hubungan harmonis antara manusia, Dewa, dan alam merupakan ajaran asasi dari agama Jepang atau Shinto.
Ketiga, agama dalam lingkungan keluarga amat berpengaruh terhadap pola aktifitas masyarakat Jepang. Karena berangkat dari lingkungan keluarga, masyarakat atau umat agama Shinto melaksankan ibadah-ibadah atau ritual-ritual, seperti penghormatan terhadap leluhur. Nuansa religiusitas dalam lingkungan keluarga ini dikenal dengan istilah koshitsu Shinto.









[1] Djam'annuri, Agama Jepang, (Yogyakarta: PT Bagus Arafah, 1981), hlm. 10
[2] Djam'annuri, Syafaatun Al mirzanah, dan Ustadi Hamzah, Agama Jepang, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 02.
[3] Shizawa Takeshi, Ringkasan Sejarah Agama Baru Jepang: Dari Kurozumi Kyo^, Konko^ Kyo^, Tenri Kyo^ sampai Aum Shinri Kyo^, Ko^fuku no kagaku, tulisan ini berbentuk makalah yang akan di-seminar-kan di kantor Alocita di Yogyakarta pada tanggal, 15 Feberuari 1997, dalam situs: http://www.02.246.ne.jp/~semar/agmbaru.html, diambil tgl 20 mei 2011.
[4] Sejarah agama-agama di Jepang bisa dibilang amat memberi contoh yang baik terkait dengan perkembangan ide-ide agama dengan mengintegrasikan tanpa adanya pertentangan dan kekerasa. Lihat,H. Byron Earhart, Japanese Religion Unity and Diversity, ed. Ke-3 (Belmont: Wasworth Publishing Company, 1982), hlm. 12, dalam Djam'annuri, Syafaatun Al mirzanah, dan Ustadi Hamzah, Agama Jepang, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 04.
[5] Jesse Arnold, Japan: The Making of a World Superpower Imperial Japan, vt.edu/users/jearnol2. Tulisan ini awalnya diakses pada tanggal 27 Maret 2007. Dalam situs: http://id.wikipedia.org/wiki/Jepang, diakses pada tanggal 20 Mei 2011.
[6] Djam'annuri, Agama Jepang, hlm. 44.
[7] William K. Bunce, Religion In Japan, cet II (Tokyo: Charles E. Tuttle Company, 1956), hlm. 100, dalam Djam'annuri, Syafaatun Al mirzanah, dan Ustadi Hamzah, Agama Jepang, hlm. 75-76.
[8] Hal itu diperkuat dengan penyebutan banyak nama dewa-dewa terhadap kami yang begitu beragam, sehingga melahirkan sebuah terminologi " yao yarozu no kami" yang berarti delapan miliun Dewa. Lihat Djam'annuri, Syafaatun Al mirzanah, dan Ustadi Hamzah, Agama Jepang, hlm. 76, dan perbandingkan dengan buku tunggal yang ditulis oleh Djam'annuri, Agama Jepang, hlm. 18. 
[9] Djam'annuri, Syafaatun Al mirzanah, dan Ustadi Hamzah, Agama Jepang, hlm.83.
[10] Djam'annuri dan Lathifatul Izzah, Agama Jepang (Japanese Religion), tulisan ini merupakan Hand Out materi kuliah Agama Jepang, yang dilaksanakan setiap hari senin di Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan kalijga Yogyakarta, 2010.
[11]  Djam'annuri, Syafaatun Al mirzanah, dan Ustadi Hamzah, Agama Jepang, hlm.101-104, liat juga Djam'annuri, Agama Jepang, hlm. 73-75, serta perbandingkan dengan Hand Out materi kuliah Agama Jepang yang diampu oleh Djam'annuri dan Lathifatul Izzah, Agama Jepang (Japanese Religion), tulisan ini merupakan Hand Out materi kuliah Agama Jepang, yang dilaksanakan setiap hari senin di Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan kalijga Yogyakarta, 2010.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;