Sabtu, 19 Maret 2011 0 komentar

HINDUISME DAN TERORISME: Analisis Paradigmatik Konsep Ahimsa Terhadap Terorisme


A.  Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk social yang tak dapat lepas dari sebuah interaksi sosial. Oleh karena itu, untuk terciptanya suatu tatanan interaksi sosial secara harmonis, khususnya sesama manusia, yakni dengan cara saling memahami “mutual understanding”. Lahirnya interaksi sosial yang berbasis kepada konsep mutual understanding, hal itu akan sedikit menetralisir terjadinya suatu problem atau konflik.  Segala persoalan atau konflik yang menyangkut urusan duniawi, itu sebenarnya tidak lantas dilemparkan kepada agama, melainkan kepada manusialah sepatutnya hal itu dilontarkan. Sebab, adanya eksistensi manusia di muka bumi, itu tidak lepas dari adanya dialektika hidup yang terus bernegasi dan berdialog, serta minimnya upaya untuk menuju kearah mutual understanding.
Ada satu ungkapan yang cukup mengena dengan pembahasan pada tema agama dan terorisme ini. Ungkapan tersebut dilontarkan oleh Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa manusia yang satu adalah ancaman atau serigala bagi yang lainnya (homo homini lupus). (Sahirul Alim, 1996:64) Statement tersebut memang betul adanya ketika orang sudah tidak memandang orang lain sebagai wujud hidup yang juga bereksistensi dan berwatak. Tanpa identitas diri tersebut, manusia terkadang diidentikkan dengan benda mati oleh manusia lain. Artinya tidak ada suatu hubungan yang dialogis dari interaksi sosial tersebut, melainkan hanya menyulam hubungan yang penuh prejudice dan subjek-objek.
Setiap agama memiliki aspek etika atau tata susila yang mengatur moralitas umatnya dalam beraktifitas maupun bertindak. Pada sisi etika inilah yang nantinya akan dipertanyakan dan dianalisis lebih mendalam tentang bagaimana seorang umat itu dapat mengaplikasikan unsur etika yang dianutnya. Dalam hal ini, Hindu berasumsi bahwa tingkah laku atau tata susila itu merupakan peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus dijadikan pedoman hidup manusia. Tujuan tata susila adalah untuk membina perhubungan yang selaras atau perhubungan yang rukun antara seseorang (jiwatma) dengan makhluk yang hidup disekitarnya. (Ida Bagus Mantra, 1989:5) pandangan Hindu tentang tata susila tersebut menitik beratakan pada hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan pada korban suci (Yajna), keikhlasan, dan kasih sayang.
Pola hubungan tersebut adalah berprinsip Hindu pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau), bermakna bahwa semua makhluk  hidup sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Oleh karena itu, patut nantinya untuk dikaji lebih mendalam mengenai pandangan etika Hindu terhadap terorisme. Apa dasar tata susila dari Hindu? Dan bagaimana cara pandang tata susila Hindu, hususnya konsep ahimsa terhadap terorisme saat ini? Point tersebut yang nantinya akan mengiringi pembahasan ini kedepan.

B.  Selayang pandang tentang Hindu
Sebagaimana telah diketahui bahwa agama Hindu merupakan agama tertua yang muncul di India. Kemunculan Hinduisme tersebut diperkirakan sekitar tahun 1800 BCE (before common era) di India, tetapi untuk dasar berdirinya agama Hindu belum pasti. Akan tetapi, kalau mengacu pada beberapa literatur yang ada menyatakan bahwa riwayat kemunculan Hindu tersebut terdapat pada suatu peradaban lembah sungai Indus. Kata Indus berasal dari bahasa Sansekerta untuk sungai Indus. Kemudia kata Indus, siddhu, tersebut oleh bangsa Persia kuno dilafalkan dengan sebutan Hindu. (Michel Keene, 2006:10).
Munculnya agama Hindu sangat mempengaruhi peradaban setelahnya. Karena disamping agama Hindu sebagai agama tertua, ia juga dibangung oleh dua peradaban besar, yakni peradaban Drawida dan Arya. Pada peradaban Drawida telah mengalami evolusi yang bisa dikatakan sangat signifikan terhadap perkembangan karakter dan identitas peradaban kedepan. Di mana mereka telah memiliki transportasi untuk melakukan transaksi pasar atau proses perdagangan. Masyarakatnya mayoritas lebih bersifat matriakhal dan tidak mengenal kasta. Dari aspek agama, mereka menyembah dewi yang diasumsikan sebagai ibu alam, selain itu juga menyembah binatang misalnya ular dan lembu. Sedangkan peradaban Arya merupakan peradaban yang belum memiliki peradaban yang Tinggi boleh dikata masih primitif. Bangsa setengah nomaden (pengembara), maka peternakan lebih tinggi daripada pertanian dan memiliki ilmu perang yang tinggi. Dalam bertani dan berdagang mereka banyak belajar dari bangsa Drawida. Binatang sangat dihargai bahkan dianggap suci, seperti lembu dan kuda. Sedangkan mengenai kitab-kitab suci agama Hindu tersebut dapat dikelompokkan kedalam dua garis besar, yakni kitab Sruti dan Smriti.(Michel Keene, 2006:20-21). Jadi, Hinduisme terbangun dari pertemuan antara dua peradaban yang bermula dari kemajuan Peradaban  Drawida, selanjutnya bangsa Arya sangat mendominasi terutama dalam budaya tulisan, bahkan penulisan Weda pun banyak didominasi peradaban Arya.[1]
0 komentar

AGAMA TAO; Sebuah Pembacaan Terhadap Khazanah Agama Timur


Adanya agama di muka bumi, tidak lepas dari adanya manusia. Kedua element tersebut saling berinteraksi satu sama lain. Relasi yang dibangun antara manusia dengan agama sangat erat sekali, sehingga keduanya tidak dapat dilepaskan. Meskipun terkadang ada beberapa paham yang mengarah pada aliran anti agama seperti atheisme, agnostik, dan gnostik.

Hubungan manusia dengan agama, sama halnya dengan relasi manusia dengan realitas mutlak atau Tuhan. Selain hal itu, manusia juga memiliki relasi lain yang juga penting, yakni relasi manusia dengan manusia, dan relasi manusia dengan alam. Hal ini mencerminkan bahwasanya setiap kehidupan pasti memiliki aturan dan hukum hukum dalam mengatur pola hidup. Manusia ketika menjalin hubungan dengan Tuhan, memiliki cara-cara tertentu, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan cara menghormati dan menjalin relasi dengan Tuhan. Corak yang ditampilkan oleh manusia dengan membangun hubungan dengan Tuhan, telah mengokohkan akan pernyataan bahwa manusia pada hakikatnya adalah homo religious.
Sedangkan relasi manusia dengan manusia merupakan hubungan yang nantinya menciptakan sebuah kebudayaan dan peradaban. Berangkat dari hubungan seperti ini, nantinya akan mematahkan stigmatisasi akan paham etnosentrisme. Gesekan yang dilakukan oleh sesama manusia, dengan jelas pasti akan melahirkan sesuatu yang hal yang bisa terbilang budaya maupun peradaban. Manusia tidak dapat hidup sendiri. Karena manusia merupakan homo society atau makhluk bersosial masyarakat. Begitu pula ketika melirik pada ranah kebudayaan, tidak ada yang namanya kebudayaan memiliki pondasi warna tunggal. Sebab kebudayaan tersebut dikonstruk oleh spektrum warna yang begitu beragam sehingga menciptakan sebuah kebudayaan dan peradaban. Intinya, kalau sumbernya tidak dapat berdiri sendiri, manusia, otomatis apa-apa yang dihasilkannya pun juga berangkat dari berbagai komposisi.
Relasi yang dibangun oleh manusia selain di atas, yakni hubungan manusia dengan alam. Alam semesta merupakan manifestasi Tuhan. Sehingga manusia dapat memahami Tuhan dengan cara memahami makna dibalik simbol-simbol alam semesta. Kesatuan antara manusia dengan lingkungan amat perlu dibina untuk melestarikan lingkungan yang sehat. Manusia banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, sehingga konstruk pemikiran dan sikap serta karakter hidup manusia kedepan, semuanya ditentukan oleh lingkungan yang mengelilinginya.
Dengan demikian, maka bilamana manusia ingin membangun suatu peradaban dan budaya multikultural, hal itu akan tercipta ketika terjadi suatu benturan, gesekan, atau interaksi antara manusia, alam, dan Tuhan. Tidak satu pun kebudayaan itu lahir dengan dirinya sendiri, semuanya butuh gesekan. Di Cina, ritme-ritme klasik dari agama Kong Hu Cu diimbangi bukan saja oleh aura spiritual agama Buddah, tapi juga dibumbuhi dengan corak romantis agama Tao.[1] Ketiga agama tersebut hidup berdampingan satu sama lain secara harmonis. Yang amat menarik dari ketiganya yakni adanya sebuah sistem simbiosis mutualisme antara ketiga agama tersebut, sehingga menciptakan masyarakat Cina yang makmur, tentram dan damai.
Agama Tao merupakan salah satu agama dari ketiga agama di atas yang cukup mempengaruhi pola berpikir masyarakat Tionghoa atau Tiongkok. Tao merupakan bentuk kepercayaan yang mempunyai dasar pemujaan kepada roh-roh nenek moyang, mementingkan usaha mencapai keselamatan individual serta usaha memelihara tradisi-tradisi kuno bangsanya untuk dijadikan pedoman tingkah laku para pengikutnya.[2] Dan akar-akar Tao kuno sudah bersemayam pada bangsa Tiongkok sebelum hadirnya Kong Hu Cu dan Buddha.
Oleh karena itu, untuk mengunkap lebih jauh dan mendalam terkait dengan agama Tao, maka ada beberapa point-point yang nantinya menjadi alur dari pembahasan tulisan ini yang akan gambarkan pada subbab selanjutnya. Hal itu dilakukan agar pembahasan agama Tao menjadi menarik dan sistematis. Hal yang terbilang penting untuk dibahas kedepan yakni terkait dengan bagaimana sejarah agama Tao? Apa dan bagaimana ajaran-ajaran dalam agama Tao? Aliran-aliran apa sajakah yang bernaung di tubuh agama Tao?. Pokok-pokok persoalan tersebut yang nantinya akan mengiringi alur pembahasan “Agama Tao” ini kedepan. Hal itu dilakukan agar memliki suatu pokok masalah yang jelas dan bisa terarah serta memang terbilang penting untuk dibahas.
 
;