A. Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk social yang tak dapat lepas dari sebuah interaksi sosial. Oleh karena itu, untuk terciptanya suatu tatanan interaksi sosial secara harmonis, khususnya sesama manusia, yakni dengan cara saling memahami “mutual understanding”. Lahirnya interaksi sosial yang berbasis kepada konsep mutual understanding, hal itu akan sedikit menetralisir terjadinya suatu problem atau konflik. Segala persoalan atau konflik yang menyangkut urusan duniawi, itu sebenarnya tidak lantas dilemparkan kepada agama, melainkan kepada manusialah sepatutnya hal itu dilontarkan. Sebab, adanya eksistensi manusia di muka bumi, itu tidak lepas dari adanya dialektika hidup yang terus bernegasi dan berdialog, serta minimnya upaya untuk menuju kearah mutual understanding.
Ada satu ungkapan yang cukup mengena dengan pembahasan pada tema agama dan terorisme ini. Ungkapan tersebut dilontarkan oleh Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa manusia yang satu adalah ancaman atau serigala bagi yang lainnya (homo homini lupus). (Sahirul Alim, 1996:64) Statement tersebut memang betul adanya ketika orang sudah tidak memandang orang lain sebagai wujud hidup yang juga bereksistensi dan berwatak. Tanpa identitas diri tersebut, manusia terkadang diidentikkan dengan benda mati oleh manusia lain. Artinya tidak ada suatu hubungan yang dialogis dari interaksi sosial tersebut, melainkan hanya menyulam hubungan yang penuh prejudice dan subjek-objek.
Setiap agama memiliki aspek etika atau tata susila yang mengatur moralitas umatnya dalam beraktifitas maupun bertindak. Pada sisi etika inilah yang nantinya akan dipertanyakan dan dianalisis lebih mendalam tentang bagaimana seorang umat itu dapat mengaplikasikan unsur etika yang dianutnya. Dalam hal ini, Hindu berasumsi bahwa tingkah laku atau tata susila itu merupakan peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus dijadikan pedoman hidup manusia. Tujuan tata susila adalah untuk membina perhubungan yang selaras atau perhubungan yang rukun antara seseorang (jiwatma) dengan makhluk yang hidup disekitarnya. (Ida Bagus Mantra, 1989:5) pandangan Hindu tentang tata susila tersebut menitik beratakan pada hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan pada korban suci (Yajna), keikhlasan, dan kasih sayang.
Pola hubungan tersebut adalah berprinsip Hindu pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau), bermakna bahwa semua makhluk hidup sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Oleh karena itu, patut nantinya untuk dikaji lebih mendalam mengenai pandangan etika Hindu terhadap terorisme. Apa dasar tata susila dari Hindu? Dan bagaimana cara pandang tata susila Hindu, hususnya konsep ahimsa terhadap terorisme saat ini? Point tersebut yang nantinya akan mengiringi pembahasan ini kedepan.
B. Selayang pandang tentang Hindu
Sebagaimana telah diketahui bahwa agama Hindu merupakan agama tertua yang muncul di India. Kemunculan Hinduisme tersebut diperkirakan sekitar tahun 1800 BCE (before common era) di India, tetapi untuk dasar berdirinya agama Hindu belum pasti. Akan tetapi, kalau mengacu pada beberapa literatur yang ada menyatakan bahwa riwayat kemunculan Hindu tersebut terdapat pada suatu peradaban lembah sungai Indus. Kata Indus berasal dari bahasa Sansekerta untuk sungai Indus. Kemudia kata Indus, siddhu, tersebut oleh bangsa Persia kuno dilafalkan dengan sebutan Hindu. (Michel Keene, 2006:10).
Munculnya agama Hindu sangat mempengaruhi peradaban setelahnya. Karena disamping agama Hindu sebagai agama tertua, ia juga dibangung oleh dua peradaban besar, yakni peradaban Drawida dan Arya. Pada peradaban Drawida telah mengalami evolusi yang bisa dikatakan sangat signifikan terhadap perkembangan karakter dan identitas peradaban kedepan. Di mana mereka telah memiliki transportasi untuk melakukan transaksi pasar atau proses perdagangan. Masyarakatnya mayoritas lebih bersifat matriakhal dan tidak mengenal kasta. Dari aspek agama, mereka menyembah dewi yang diasumsikan sebagai ibu alam, selain itu juga menyembah binatang misalnya ular dan lembu. Sedangkan peradaban Arya merupakan peradaban yang belum memiliki peradaban yang Tinggi boleh dikata masih primitif. Bangsa setengah nomaden (pengembara), maka peternakan lebih tinggi daripada pertanian dan memiliki ilmu perang yang tinggi. Dalam bertani dan berdagang mereka banyak belajar dari bangsa Drawida. Binatang sangat dihargai bahkan dianggap suci, seperti lembu dan kuda. Sedangkan mengenai kitab-kitab suci agama Hindu tersebut dapat dikelompokkan kedalam dua garis besar, yakni kitab Sruti dan Smriti.(Michel Keene, 2006:20-21). Jadi, Hinduisme terbangun dari pertemuan antara dua peradaban yang bermula dari kemajuan Peradaban Drawida, selanjutnya bangsa Arya sangat mendominasi terutama dalam budaya tulisan, bahkan penulisan Weda pun banyak didominasi peradaban Arya.[1]