Sabtu, 22 Januari 2011 0 komentar

Kepemimpinan Kharismatik (Analisis terhadap Konsep Kharismatik Weber)


Pendahuluan
Diawali oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda.
I'm so sorry,,, I was forgeted...
Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata mata hanyalah meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Perbedaan mendasar antara budaya timur dan barat hanya terletak pada rasionalitas. Peran agama yang begitu penting terhadap pola hidup manusia, menjadikan agama suatu tinjaun analisis bagaiamana hal tersebut dapat melahirkan spirit juang manusia untuk memecahkan suatu persoalan. Persoalan yang terjadi di masyarakat cukup beragam. Mengingat didalam masyarakat juga terjadi konflik laten, baik itu system social masyarakat maupun pertarungan kelas-kelas. Semua itu tidak akan pernah luput dari suatu fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat, sehingga memunculkan suatu sintesis baru untuk menjadi titik temu antar pokok permasalahan tersebut sehingga dapat berjalan harmonis. Upaya untuk mencari titik temu atau adanya titik temu tersebut oleh Weber disebut sebagai afinitas elektif.
Agama sebagai suatu penggerak masyarakat dalam bertindak, menjadikan suatu sistem lain yang ada dalam masyarakat ikut merasakan kehadiran agama. hal itu terjadi seperti salah satu contoh kasus dalam etika Protestan. Namun, tidak hanya terdapat pada kasus tersebut, ada hal lain yang patut dan penting untuk dianalisis terkait dengan wujud institusi agama terhadap masyarakat. Wujud tersebut cukup jelas ketika melirik pada konsep kharismatik yang dijadikan instrument oleh Weber dalam menganalisis peran seorang pemimpin dalam menciptakan suatu perubahan yang radikal dan dinamis.
Konsep kharismatik Weber tersebut tidak lepas dari pembacaan terhadap fenomena-fenomena masyarakat akan gandrung akan seorang pemimpin yang dapat menciptakan suatu perubahan disaat terjadi suatu kondisi krisis. Persoalan yang dihawatirkan terhadapa konsep tersebut, yakni apakah konsep kepemimpinan kharismatik yang melekat sifat kharismatik dapat diturunkan atau diwariskan? Serta sejauh mana peranan kepemimpinan kharismatik dalam melakukan perubahan dalam masyarakat? Dan pada saat apa seorang pemimpin kharismatik itu hadir? Apakah dapat dibentuk secara mekanik atau murni (pure)? Persoalan-persoalan tersebut di atas yang nantinya akan menjadi perbincangan kedepan dalam pembuatan makalah ini.
Oleh karena itu, secara implisit Weber melihat suatu perubahan interaksi sosial masyarakat terdapat factor ekternal didalam-nya yang mendorong tindakan masyarakat untuk melakukan suatu perubahan dengan bertumpu pada intruksi dari orang yang dipercayai dan dihormati akan menimbulkan serta melahirkan perubahan yang inovatif-dinamis serta radikal.
Jumat, 07 Januari 2011 0 komentar

Pembacaan Terhadap Pola Pikir Tasawuf-Filsafat Mulla Shadra

Sekilas tentang Mulla Shadra

Secara faktual nama yang sering kali dikenal Mulla Shadra sebenarnya nama panggilan yang diberikan kepada Shadr al Din Muhammad bin Ibrahim. Kata Mulla mempunyai arti ilmuwan besar dan dikombinasikan dengan nama panggilan waktu kecil, Shadra, sehingga jadilah Mulla Shadra. Shadr al Din Muhammad bin Ibrahim lahir di syiraz pada tahun 979H/1571M.[1] Mulla Shadra lahir dikalangan keluarga terpandang yang mana ayahnya, Khajah Ibrahim Qiwami, konon menjadi menteri di istana Shafawiyan. Pada saat Mulla Shadra lahir, Syiraz adalah kota bersejarah Iran dan terletak di wilayah Pars, di zaman Mulla Shadra, pemerintah Iran di bawah kekuasaan keturunan Shafawiyan yang secara resmi mengakui kemerdekaan wilayah Pars, saudaranya menjadi raja di wilayah Pars dan salah satu menterinya adalah ayah Mulla Shadra.

Sedikit bercermin dari sisi keluarga Mulla Shadra yang masuk dalam katagori golongan orang terpandang pada saat itu, yang mana ayahnya menjadi menteri. Meskipun demikian, Mulla Shadra tidak bermalas-malasan untuk menuntut ilmu, tidak seperti kebiasan orang kaya lainnya, dan mencari guru untuk memulai mempelajari beberapa disiplin ilmu. Di antara guru-guru yang paling berpengaruh bagi dunia intelektual Mulla Shadra adalah Syaikh Bahauddin Amili (953 - 1030 M) dan Mir Muhammad Baqir Husaini (969 - 1041H). Masing-masing gurunya tersebut memiliki disiplin ilmu yang berbeda, sehingga Mulla Shadra mempunyai beberapa pengetahuan dari kedua gurunya tersebut. Yang kemudian menjadi pondasi dari berbagai karya-karyanya.

Ketekunan dan semangat belajar yang intensif telah membuahkan berbagai pola pemikiran yang gemilang dari Mulla Shadra, sehingga banyak yang mengkaji tentang pemikirannya baik dari aspek ke-filsafatan-nya dan mistisisme-nya. Adanya kedekatan waktu dengan era sekarang, sedikit banyak telah mempermudah untuk mengakses karya-karya dari Mulla Shadra baik itu yang berbentuk surat-surat, buku, ataupun yang lainnya dapat terselamatkan. Sebab, ketika jarak relatif jauh, seperti al Kindi, sedikit banyak karya-karya yang ditinggalkan banyak tak terbaca, dalam artian tidak dapat diselamatkan.

Tampkanya, ketika filosof yang bernama Muhammad dan bergelar Sharuddin (ahli agama) dan lebih dikenal dengan nama Mulla Shadra atau hanya Shadra ini muncul, filsafat yang ada, dan yang umumnya diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn Sina dan para pengikutnya. Pada abad ke 6 H/ke 12 M, Suhrawardi telah melakukan kritik terhadap beberapa ajaran dasar parepatetisme. Ialah yang meletakkan dasar-dasar bagi filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis (Hikmat al-Isyraq) yang kemudian memperoleh sejumlah pengikut. Dalam latar belakang yang demikian itulah sistem pemikiran Mulla Shadra yang khas tumbuh, yang kelihatannya benar-benar berbeda dari situasi intelektual dan spiritual pada masanya. Kesalehannya terhadap agama dapat ditunjukkan antara lain oleh kenyataan bahwa ia dikatakan meninggal pada 1050 H/1641 M di Basrah, saat berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, atau kembali darinya untuk yang ketujuh kalinya. Usianya diperkirakan tujuh puluh atau tujuh puluh satu tahun.

Pondasi Pemikiran Mulla Shadra
Pemikiran Mulla Shadra sangat memiliki peran penting bagi dunia intelektual Islam setelah Ibnu Sina, Al Ghazali, Ibn Rusyd dan Suhrawardi. Di mana pada zaman al Ghazali ada selentingan yang menyatakan bahwa filsafat khususnya dunia filsafat Islam telah mengalami kefakuman setelah mendapat kritikan pedas dari al Ghazali. Namun hal demikian terbantah setelah Ibnu Rusyd mengembalikan kembali wujud murni dari filsafat parepatetik, yakni Aristotelian. Pada era Mulla Shadra ini, telah melahirkan sebuah nuansa filsafat baru yang dipelajari secara intensif dengan berbagai analisis serta memberikan sintesis dan integrasi dari filsafat-filsafat sebelumnya. Pola pemikiran Mulla Shadra, seperti halnya para filosof dan sufi yang mengembangkan pemikiran sebelumnya, baik dari guru maupun tokoh yang berpengaruh pada waktu itu, lebih dipengaruhi oleh tokoh pemikir sebelumnya, seperti halnya Ibnu ‘Arabi (l. 506H/1165M – w. 638H/1240M) dengan nuansa gnostik-nya atau irfani dan Suhrawardi (1154-1191M) dengan corak filafat ‘isyraqiyah atau illuminasi.[2] 

Ibnu ‘Arabi mendapat gelar atau sebutan Syekh al Akbar dan memiliki corak pemikiran teosofi, yakni adanya kombinasi antara tasawuf dan filsafat dan dikenal dengan konsep Wahdat al Wujud atau Unity of Existence. Pemikiran ini timbul dari paham yang menyatakan bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu ia menciptakan alam (locus). Di kala Ia ingin melihat diri-Nya, maka Ia melihat alam karena tiap-tiap makhluk hidup yang ada di alam terdapat sifat ke-Tuhan-an (manifestasi). Dengan demikian, alam merupakan cerminan bagi Tuhan. Dalam cermin itu diri-Nya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya hanya satu. Di sinilah muncul paham kesatuan yang ditelorkan oleh Ibnu 'Arabi.

Wacana teosofi klasik dalam dunia Islam pertama kali diperkenalkan oleh Abû Yazîd al-Busthâmî. Nuansa filsafat yang mewarnai pemikiran sufistiknya terlihat dari gagasannya mengenai konsep Ittihâd (penyatuan). Menurutnya, sufi akan sampai pada penyatuan dengan Tuhan melalui Fanâ’ al-Nafs (peleburan diri) dan Baqâ’ (hidup terus menerus) yaitu kesadaran diri terhadap lenyapnya wujud jasmani, namun tetap disadari kekalnya wujud ruhani (al-Taftazânî, 1983:106).[3] Corak yang ditampilkan oleh Abu Yazid Al Busthami lebih bernuansa Dzauq yakni menekankan rasa takut, sehingga memberikan kekhusu'an bagi hamba terhadap sang pencipta. 

Adanya konsep Ittihad (penyatuan), yakni penyatuan dengan Tuhan telah memberi deskripsi bagaimana sebelum adanya Mulla Shadra corak teosofi sudah ada. Namun, pada waktu itu dapat dibilang belum disebut sebagai teosofi. Dan hal ini dikembangkan oleh Abu Mansur Al Hallaj (l. 244H/858M – w. 309H/921M) dengan konsep Hulul-nya. Ketika corak teosofi klasik dari al Busthami merebah dan dikembangkan oleh al Hallaj menjadi konsep Hulul, yakni paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu lenyap. Konsep Hulul ini bepijak pada dua pondasi, pertama adanya asumsi bahwa adanya sifat-sifat ke-Tuhan-an dalam diri manusia (Lahut) dan begitu pula sebaliknya, hadirnya sifat-sifat manusia dalam diri Tuhan (Nasut). Konsep hulul “ekstrem” telah mendatangkan berbagai pertentangan dari berbagai kalangan, khususnya para fuqaha. Meraka menganggap bahwa apa yang dipelajari oleh Al Hallaj sangat berbahaya dampaknya atau pengaruhnya bagi masyarakat awam, sehingga mereka mengambil keputusan untuk menghukum al Hallaj. Pada era al Hallaj sangat jelas sekali bagaimana hadirnya kontradiksi antara dunia mistik dengan teologi. Kemudian peristiwa tersebut telah memaku ingatan umat muslim akan kematian al Hallaj yang cukup mengenaskan. 

Setelah menilik dan menganalisa secara terperinci mengenai beberapa konsep yang bercorak teosofi sebelum Mulla Shadra, sedikit banyak telah memberi asumsi dasar bahwa pola pemikiran Mulla shadra telah mengelaborasi dan terpengaruh dari pemikiran-pemikiran sebelumnya. Dan secara tidak langsung hal demikian sedikit mempersulit pemahaman terhadap dunia teosofi Mulla Shadra sebelum mengetahui beberapa pemikir-pemikir yang mempengaruhinya.

Pada intinya, pola pemikiran Mulla Shadra adalah ingin menyatukan antara dunia mistik dan wahyu, al Quran dan as Sunnah, agar tidak menghadirkan kontradiksi di antara keduanya serta di sisi lain filsafat, yang di antara kesemuanya sama-sama menghadirkan dan mencari kebenaran. Hal itulah yang diperjuangkan oleh Mulla Shadra sebagai temuan baru dalam dunia intelektual Islam. Sebab, filosuf sebelum Mulla Shadra juga memperjuangkan hal demikian, akan tetapi tetap tidak membuahkan hasil yang cukup signifikan. Baru ketika diolah oleh keuletan Mulla Shadra hal itu terwujud dalam filsafatnya yang begitu komprehensif dari relasi berbagai perspektif.[4] Oleh karena itu lahirlah filsafat hikmah sebagai sintesis-integral dari berbagai analisis yang terlampir dalam magnum opus-nya yakni Al-Hikmah al-Muta’âliyah fi al-Asfar al-Arba’ah.

Perjalan Pengetahuan Mulla Shadra
Dari berbagai pengkaji-pengkaji Mulla Shadra, mengenai perjalan pengetahuan Mulla Shadra dapat dipetakan menjadi tiga fase.
Fase pertama, merupakan fase awal pijakan dari Mulla Shadra untuk menempuh dunia pengetahuan. masa menuntut ilmu dan mengkaji berbagai pemikiran-pemikiran Filsafat dan 'Irfan (tasawuf). Di masa ini juga pemikiran kedua gurunya -Mir Damad dan Syaikh Bahauddin- masih berpengaruh kuat pada dirinya. Pada fase ini Mulla Shadra lebih menitik beratkan kepada filsafat dan aliran teologi.
fase kedua: Karena tekanan dan prilaku yang buruk dari orang-orang yang denki (hasad) atas kemajuan ilmunya begitu juga dari orang yang benci karena pemikiran-pemikiran barunya yang banyak bertentangan dengan pemikiran ulama dan fuqaha saat itu dia kemudian meninggalkan kota Syiraz tahun 1039 H atau 1631 M dan mengasingkan dirinya ke desa Kahak dekat dengan kota suci Qum.[5] Di tempat kudus ini, ia melakukan pensucian diri dengan berkonsentrasi pada peribadatan, puasa dan riyadhah (olah batin). Setelah mengalami ketersingkapan (mukasyafah), Mulla Shadra mulai menulis bukunya yang cukup berharga yaitu “Al Asrar Al Arba”. Ia menjalani dengan cepat maqam-maqam suluk irfani hingga sampai pada derajat spiritual tertinggi dan mukasyafah. Pada tahun 1040 H atau 1632 M ia kembali ke Syiraz.

Fase ketiga: masa menulis, mengajar dan mendidik. Masa ini merupakan hasil dari dua tahapan tersebut. Di masa ini ia menulis kitab Asfar dan karya-karya lainnya yang ditulis pada tahapan pertama kehidupannya merupakan sumber-sumber untuk penulisan kitab Asfar. Mulla Shadra kembali mengajar setelah menyelesaikan secara sempurna sair wa suluk (tangga-tangga perjalanan spiritual) dan telah tersingkap (mukasyafah) baginya hakikat-hakikat Islam, dengan perbedaan bahwa pengajaran beliau kali ini dengan ilmu syuhudi (intuisi) disertai hadis dari Rasul Saw dan Ahlulbait As.[6]
Selasa, 04 Januari 2011 0 komentar

Rasionalisasi dan Orientasi Agama; Menguraikan Signifikansi Agama Terhadap Pola Hidup Manusia

Oleh: Zulkarnain

Pendahuluan
Jikalau di dunia ini tidak ada “agama” dan “makhluk”, barangkali dunia ini hanya berisikan lamunan dan imajinasi kosong dari cipta yang tak diciptakan. Pada saat demikian, yang namanya masyarat juga pun tidak hadir menghiasi bumi, dan berbagai terminologi, attribut, serta simbol tidak menjadi citra dari suatu benda. Semua itu ada jika manusia ada. Jika agama ada, maka yang namanya manusia harus diciptakan.

Agama merupakan sesuatu yang paling sakral dalam diri manusia, sehingga jikalau ada pembahasan dan pesoalan menyangkut agama, maka akan menimbulkan kesensitifan pemeluknya. Namun, di lain pihak, agama juga dapat melahirkan perdamain. Tergantung bagaimana penganutnya memanage dan mengamalkan dogma-dogma agama. Di dalam dogma-dogma agama tersebut terdapat berbagai pembahasan dan persoalan menyangkut baik tatanan sosial masyarakat atau relasi antara manusia dengan pencipata, Tuhan. 

Manusia sebagai makhluk paling sempurna di antara segala ciptaan, dapat berinteraksi dengan sesama manusia dan makhluk ciptaan lainnya. Relasi antara manusia dengan manusia yang lain terdapat etika di dalamnya yang mengatur bagaimana hubungan tersebut dapat berjalan harmonis. Begitu juga, relasi manusia dengan Tuhan, posisi manusia sebagai ciptaan mempunyai kedekatan dan kebutuhan psikologis atau spiritual. Untuk memenuhi hal itu, manusia secara implisit telah tertanam dalam dirinya sebuah nuasa ke-Tuhan-an sehingga ada semacam relasi intensional.

Adanya dua element yang berbeda dalam diri manusia telah memberikan paradigma bahwa antara nuansa materi (rasio) dan imateri (soul) sebenarnya harus beriringan dalam melangkah dan menyusuri berbagai fenomena kehidupan. Nuansa spiritual atau psikologis dan lahiriah atau materi tersebut yang nantinya akan memiliki peran penting bagi pola kehidupan manusia kedepan. Adanya dua element tersebut memberi multi-paradigma bagi manusia, sebab ketika manusia mengoptimalkan salah satu potensinya dari hasil olah element di atas, otomatis melahirkan ketimpangan. Oleh karena itu, solusi yang relevan dengan persoalan tersebut yakni adanya sinergitas dan keharmonisan.

Adanya relasi antara agama dan masyarakat sangat memberikan kontribusi bagi stuktur sosial-budaya masyarakat, sehingga dapat menciptakan masyarakat berbudaya dan bersosialis yang bernuansakan agama. Seperti halnya budaya kapitalis yang merajalela di dunia ini. Dunia kapitalis yang penuh dengan berbagai permainan di dalamnya tentunya terdapat peran agama yang memberi kemajuan maupun motivasi hidup untuk terus bekerja dengan berlandaskan agama. Jikalau agama tidak berperan dalam dunia kontemporer ini, apakah yang akan terjadi? Sungguh tidak dapat dibayangkan jika agama nantinya hanya berdiam tanpa ikut campur dalam urusan duniawi, hanya memfokuskan pada dunia akhirat. Persoalannya adalah peran agama terhadap dunia materi, seperti kerja, rumah tangga, sikap dan lain sebagainya, apakah dapat menumbuhkan rasa spirit dan orientasi yang jelas terhadap pekerjaan yang digeluti? Di sinilah persoalan yang kiranya perlu dipecahkan, agar dapat membaca peran agama yang sesungguhnya terhadap dunia materi manusia.

Dunia Asketik Protestan
Dunia Protestan merupakan aliran dalam agama Kristen yang dihasilkan melalui sebuah reformasi besar yang terjadi pada kalangan kerajaan dan dilanjutkan oleh para filosof, seperti Calvin dan Luther. Baik dari aspek ritualnya, gereja Protestan memiliki perbendang yang cukup jauh dengan gereja Katolik. Pandangan para jamaat Katolik melihat Protestan sebagai orang-orang yang keluar dari doktrin-doktri agama Kristen yang benar, sebab mereka tidak mematuhi keputusan yang diintruksikan oleh pemimpin tertinggi, yakni Paus. Sebagaimana gereja Katolik, mereka semua mematuhi apa-apa yang diperintahkan oleh paulus, baik itu perintah yang sifatnya praktis maupun teoritis. 

Orang-orang Katolik cenderung terkungkung oleh kebijakan Paus yang otoriter. Apa yang disampaikan oleh Paus, secara implisit merupakan sabda Tuhan yang tidak dapat disalahkan. Agar semua itu tidak terlalu merembet pada masyarakat Kristen keseluruhan, maka terjadilah kritikan pada masa konsili atau perundingan yang disampaikan oleh Martin Luther untuk memprotes kebijakan Paus yang otoriter. Oleh karena itu lahirlah yang namanya geraja Protestan yang awal mulanya disebabkan adanya protes. 

Dunia Katolik jauh lebih tertutup dari pada dunia Protestan. Hal tersebut jauh bersifat luar dunia (other-wordly) dari pada agama Protestan yang bersifat (inner-wordly). Gereja Katolik yang bersifat other-wordly sebenarnya ingin menyatakan bahwa kepercayaan dan nilai sebagai tujuan dari setiap individu untuk mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah kematian; dan tujuan utama manusia di dunia hanya dipandang sebagai usaha dan upayan untuk mencari bekal kehidupan yang akan datang, yakni sesudah kematian. Beda halnya dengan gereja Protestan yang lebih bersifat inner-wordly, sifat tersebut secara tidak langsung mengembalikan segala urusan terhadap tangan dan potensi manusia sebagai makhluk tuhan untuk melaksanakan segala tugas-tugasnya di dunia dengan berlandaskan agama.

Ketika menilik pada dunia asketik Protestan atau yang lebih dikenal sebagai inner-wordly sebagaimana dipaparkan sebelumnya, semua itu telah memberikan keleluasaan bagi pemeluk gereja (jamaat) Protestan untuk menginterpretasikan segala apa yang kiranya tidak dipahami, baik itu menginterpretasikan terhadap kitab maupun hirarkhi dalam struktur ke-gereja-an. Dalam hal ini max Weber mencoba untuk memetakan yang namanya konsep otoritas, seperti halnya yang dipegang oleh Paulus. Dalam tesisnya, Weber menyatakan bahwa yang namanya kekuasan, seperti halnya Paulus, yakni memaksakan kehendak atau hasrat personal terhadap orang lain meskipun hal demikian mendapat perlawanan. Ketika teori otoritas Weber diterapkan dalam ranah agama, ternyata hal itu cukup memiliki dampak yang signifikana terhadap pola pikir penganut agama Kristen. Sebab, diantara mainstreem dalam agama tersebut terdapat yang menerapkan apa yang dikatakan Weber "otoritas". 

Dunia asketik ketika ditilik secara etimologi, memang mengandung makna pengasingan diri dari keramian dunia. Akan tetapi, semua itu sedikit bertentangan dengan tendensi yang bersemayam dibalik dunia asketik agama Kristen aliran Protestan. Asketik Protestan merupakan suatu aliran atau sekte yang terdapat dalam mainstreem dari golongan gereja Protestan. Dalam hal ini Weber membedakan sekter tersebut dalam empat sekte, antara lain sebagai berikut: Calvinisme, Metodisme, Pietisme, dan sekte Baptis. Antara empat sekte tersebut terdapat beberapa perbedaan, dan hal itu wajar dalam hal tersebut. Selain hal itu, mereka juga memiliki keterkaitan satu sama lainnya atau relasi intensif. Penuturan Weber dalam hal Protestan sekte ini tidak sampai membahas unsur-unsur dogma dari agama Kristen, tapi hanya terpaku pada persepsi dan doktrin-doktrin dari sekte-sekte tersebut, karena banyak pengaruhnya terhadap dunia praktis masyarakat khususnya dalam bidang perekonomiannya.

Dalam analisisnya terhadap sekte-sekte gereja Protesetan, Weber tidak semuanya melakukan elaborasi dari keempat sekter tersebut, tapi Weber lebih menitik beratkan kepada sekte Calvinisme. Menurutnya, Weber, pengaruh yang lebih besar dari dunia asketik tersebut terdapat dalam doktrin-doktrin sekte Calvinisme. Weber kemudia mengidentifikasi tiga ajaran Calvinis yang memiliki pengaruh besar terhadap praktis individu terhadap dunia ekonomi. Doktrin-doktrin itu ada tiga, antara lain: pertama, adanya alam semesta hanya sebagai peningkatan akan keagungan Tuhan yang hanya memiliki arti jika dikorelasikan dengan tendensi-tendensi Tuhan. Tuhan itu tidak ada demi manusia, tetapi manusia ada demi mingkatkan keagungan Tuhan. Kedua, adanya prinsip bahwa maksud-maksud Tuhan itu hanya ada diluar jangkaun manusia (trancendental), sehingga manusia hanya dapat memahami butiran-butiran dari tendensi tersebut jikalu ia mau. Ketiga, adanya kepercayaan terhadap takdir Tuhan; sebab hanya sebagian kecil dari manusia yang mendapatkan kasih sayang Tuhan yang absolut. Dan apabila ada yang berasumsi bahwa tindak tanduk manusia dapat merubah jalannya takdir tersebut, otomatis hal itu telah memberi anggapan bahwa tindakan-tindakan tersebut memiliki pengaruh terhadap keputusan (judsment) Tuhan yang kudus. 

Penganut Calvinisme memiliki pegangan yang kuat atas ajaran-ajaran dan himbaun-himbaun, sehingga mereka mengikuti doktrin tersebut. Salah satunya yakni menyatakan bahwa Calvinisme menuntut terhadap pemeluknya agar hidur disiplin serta rasional dan berkesinambungan, barangkali demikian itu akan sedikit menghapus dosa-dosa, seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang Katolik yang ingin menebus dosa lewat surat penebus dosa. Bagi penganut Calvinisme, kerja di dunia materil secara implisit menggambarkan penilain terhadap etika positif tertinggi. 

Pengaruh Etika Protestan Terhadap Dunia Kapitalis
Max Weber bisa dikatakan lebih banyak mencurahkan kegelishannya dalam bukunya Etika Prostestan Dan Spirit Kapitalisme yang bersikan tentang pengaruh dari etika Protestan terhadap dunia kapitalis. Kesimpulan khusus dari Protestean Ethic ialah bahwa meskipun orang puritan oleh sebab kepercayaan agamanya, dengan sengaja memilih bekerja dalam suatu panggilan, sifat khusus dari pembagian kerja tersebut menurut kapitalisme memaksa orang modern untuk turut serta melakukan seperti apa yang dilakukan oleh kaum puritan.

The Protestan Ethic dimaksudkan oleh Max Weber sebagai karya yang bersifat programatik. Artinya, sebagai sistem agama yang dapat mengontrol jalannya alur dunia kerja masyarakat yang dapat termotivasi dengan dogma-dogma agama, sehingga meningkatkan dunia kapitalisnya (modal). Sedikit banyak, pengaruh yang ditelorkan oleh spirit roh agama ternyata dapat dianalisis lewat psikologi agama. Dalam teori orientasi agama, peran agama terhadap pola hidup manusia sangatlah banyak sekali, dan hal itu juga dapat bervariasi. Ketika orang yang hidup beragama tersebut melakukan segala aktifitasnya karena murni berlandaskan agama, itu setelah diamati oleh Allport dapat menunjang ketenangan jiwa dan dapat meningkatkan etos kerja. Orientasi intrinsik tersebut telah memberi alur yang jelas bagi pemeluk agama dalam melangkah dan menatap masa depannya. Beda halnya dengan orientasi beragama ekstrinsik yang lebih ekslusif dan cenderung memamfaatkan agama sebagai pemuas pribadinya. Mayoritas dalam kalangan elit politik sering kalai memperalat agama sebagai pelegitimasi tindak tanduknya demi sebuah kepentingan, baik itu golongan, pribadi, atau statusnya di mata masyarakat.

Etika Protestan tidak seperti apa yang digambarkan dalam teori orientasi psikologi agama, tapi dunia etika Protestan lebih memiliki orientasi yang bersifat inner-wordly dan hal itu tidak ada kaitannya dengan hedonisme. Orientasi etika Protestan yakni meningkatkan etos kerja dengan melalui kesetiaan terhadap tugasnya yang dipandang sebagai amanah agama, dan demikian pula mereka secara sistematis mendisiplinkannya untuk mengontrol keinginan fisik dan nafsunya. Dari proses itulah dunia kapitalis dalam masyarakat Protestan cukup berkembang pesat. Karena dari latar agama mereka telah mengajarkan adanya unsur kerja yang lebih dijadikan perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan-nya. Max Weber mencoba memberi deskripsi bagaimana hubungan antara sistem agama dengan sistem ekonomi, yang ia menyatakan bahwa antara dunia ekonomi dan agama agak sulit untuk dibedakan satu sama lainnya, sebab keduanya saling memiliki keterkaitan dan sama-sama dipengaruhi oleh pranata-pranata lain yang membentuk masyarakat yang bersangkutan. Relasi antara sistem agama dan ekonomi memang perlu adanya, sebab disamping agama sebagai pengontrol mekanisme ekonomi, juga mejadi acuan terhadap dunia etik berekonomi, sehingga ada koridor-koridor yang tidak sepatutnya dilalui dalam bekerja maupun lebih spesifik dunia kapitalis.

Sebagaimana dunia kapitalis yang sarat akan kapital didalamnya, baik itu berupa kekayaan barang maupun harta lainya, masih menyisakan sedikit persoalan yang cukup menggelikan dibalik adanya dunia kapitalis tersebut. Dalam hal ini Karl Marx menyatakan bahwa dunia kapitalis hanya dimiliki oleh golongan masyarakat borjuis dan kaum proletar hanya sebagai objek permainan. Teraleniasinya manusia dari produknya sendiri tidak lain faktornya juga karena permainan dunia kapitalis yang memainkan waktu dalam sistem kerja buruh. Meraka merasa terasingkan ketika barang yang dihasilkan oleh kreatifitas sendiri, malah dijual dengan mahal, tapi tidak dapat menikmatinya. Dan hal itu secara tidak langsung menggambarkan adanya keputusan tunggal dari dua pihak yang bernegasi dalam ranah kapitalis-buruh. Marx sendiri mencoba menguraikan alienasi itu dengan menghilangkan sistem kelas dalam struktur masyarakat, meskipun kedengaran sedikit menggelikan. Adanya alienasi itu juga dilatar belakangi oleh faktor finansial yang paling dominan dan kurangnya kebijakan yang sepatutnya didapat oleh kaum proletar atau buruh.

Terlepas dari di atas, etika Protestan yang menjadi semangat kapitalisme ternyata memiliki dampak lain, yakni adanya kepercayaan dan keyakinan kuat terhadap agama. Dan hal demikian oleh Max Weber telah dianalisa mengenai pengaruhnya, etika Protestan, dalam meningkatkan pertumbuhan kapitalisme menunjukkan pengertiannya mengenai pentingnya kepercayaan agama serta nilai dalam membentuk pola motivasional individu dalam tindakan ekonominya. Keyakinan yang ada dalam dunia Protestan tentang kekayaan adalah meningkatkan kemerosotan moral. Hanya saja jika orang tersebut menganggap bahwa kekayaan itu sebagai salah satu jembatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Oleh karena itu mereka tidak akan bermalas-malasan dan yang jelas disamping kekayaan sebagai penanda kesuksesan profesi seseorang juga sebagai bentuk atau wujud nyata dalam menahan hawa nafsu dan pengaruh hedonisme. 

Pengaruhnya terhadap dunia kapitalis yang paling dominan dari dunai etika Protestan yakni adanya rasionalisasi, metodis, direncanakan secara sadar, dan cermat. Dengan kata lain, suatu karya akan yang rasional itu sebenarnya berproses dari yang namnay irrasionalitas; mistikisme yang dilahirkan oleh Luther dan Calvin, itu telah memberikan karya yang rasioanal, sehingga landasan utama dari dunia kapitalis yakni adanya rasionalitas kerja. Landasan inilah yang nantinya menjadi mobilisasi dari alur dunia kapitalis yang lebih menitik pada kerasionalitasan, baik itu dalam ranah penggunaan kekayaan secara rasional dan penggunaan tenaga kerja pula secara rasional. Adanya rasionalitas dalam dunia kapitalis yang dihasilkan oleh agama telah memberi sistem yang penuh rasionalitas dalam bertindak.

Kesimpulan
Pada pembahasan mengenai Rasionalisi Dan Orientasi Agama dapat ditarik beberapa poin yang cukup penting untuk dijadikan benang merah dari pembahasan tersebut. Di antara poin-poin itu antara lain sebagai berikut:
Pertama, dunia asketik Protestan yang berawal dari sebuah reformasi yang dipelopori oleh Martin Luther sebagai pelopor pertama yang membawa gereja (jemaat) Protestan. Adanya Protestan itu sendiri merupakan sebuah tindakan protes atas kebijakan gerja Katolik yang terlalu otoriter, sampai kitab suci yang boleh memegang hanyalah para orang-orang gereja dan selain mereka tidak diperbolehkan. Adanya sikap seperti itu dari Katolik telah menimbulkan sikap kritis dari gerakan reformasi sehingga terciptakan Protestan yang diawali dengan 99 protes yang ditulis oleh Luther dan ditempelkan dipintu gerbang geraja Katolik.
Dunia asketik Protestan lebih bersifat inner-wordly dan hal itu menitik beratkan pada dunia sebagai jembatan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sehingga adanya dunia kemajuan disektor ekonomi itu juga akibat dari imbas dunia asketik Protestan. Beda halnya dengan Katolik yang bersifat other-wordly yakni menitik beratkan terhadap dunia pertapa yang sangat ekslusif sehingga apa-apa tidak dapat diinterpretasikan. Artinya, lebih tertutup dan otoritas tertinggi dipegang oleh paulus atau paus, sehingga mengasosiasikan dirinya sebagai Tuhan.
Kedua, pengaruh etika Protestan terhadap dunia kapitalis sangat besar sekali. Salah satu landasan yang dihasilk oleh Luther dan Calvin dalam hal ini yakni adanya rasionalitas dalam segala hal. Dan hal itu dijadika landasan dalam melangkah oleh para kapitalis yang segala tindak tanduknya harus dikerjakan secara rasioanal.
Etika Protestan dalam hal ini memberikan motivasi bagi dunia kapitalis agar tindakan atau etos kerja yang meraka lakukan semuanya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Beda halnya dengan hedonisme, etos kerja disini tidak lantas menuruti hawa nafsunya sendiri, malainkan menahan hawa nafsu personal dan lebih mempergunakan kekayaan untuk kepentingan yang rasioanal metodis.

Daftar Pustaka
King, dan Cuzzort, Kekuasaan Birokrasi, Harta Dan Agama. Di Mata Max Weber Dan Durkheim, terj. Mulyadi Guntur Waseso, Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya, 1987.
Lavine, T.Z., Marx Konflik Kelas dan Orang yang Terasing, terj. Andi Iswanto dan Deddy Andrian Utama, Yogyakarta: Jendela, 2003.
Crappas, Robert W., An Introduction to Psychology of Religion, terj. A. M. Hardjana, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Giddens, Anthony, Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern. Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, Dan Max Weber, terj. Soeheba Kramadibrata, Jakarta: UI-Press, 1986.
Wrong (Ed.), Dennis, Max Weber Sebuah Khazanah, terj. A. Asnawi, Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003.
S. Turner, Bryan, Agama Dan Teori Sosial. Rangka Pikir Sosiologi DAlam Membaca Eksistensi Tuhan Di Antara Gelegar Ideologi-Ideologi Kontemporer, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.
_____________, Orientalisme, Posmodernisme, Dan Globalisme, Terj. Eno Syafrudien, Jakarta: Riora Cipta, 2002.
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern 1, terj. Robert M. Z. Lawang, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.
 
;